Thursday, October 30, 2008
Bekerja Efektif Seirama Otak
Seperti tubuh, otak juga punya irama kerja. Irama otak lebih banyak ditentukan oleh pola tidur, paparan cahaya dan faktor genetika. Nah, apabila Anda ingin lebih efektif, efisien, dan produktif dalam bekerja, Anda dapat menggunakan kekuatan otak. Karena otak punya jam-jam terbaik untuk dimanfaatkan dan ternyata tak hanya berpengaruh terhadap pekerjaan namun juga pada kesehatan kita. Yuk, kita simak waktu irama otak yang terbaik saat bekerja.
Pukul 09.00-11.00
Waktu Terbaik untuk Mencari Ide
Pada waktu ini, hormon stres kortisol Anda berada dalam kadar sedang. Hal ini akan sangat membantu Anda untuk berpikir fokus. Menariknya, kondisi ini dialami oleh semua golongan umur.
Gunakan waktu ini untuk: mengerjakan tugas yang membutuhkan analisis dan konsentrasi, mengembangkan ide-ide baru, membuat presentasi, dan brainstorming mencari solusi tantangan besar atau kecil. Bagi yang mulai memasuki usia paruh baya, pikiran akan lebih jernih di pagi hari sehingga mulailah atur jadwal untuk berdiskusi masalah pekerjaan atau pribadi.
Pukul 11.00-14.00
Waktu Terbaik untuk Tugas Sulit
Saat ini, hormon tidur bernama melatonin di otak Anda sedang menurun drastis. Menurunnya melatonin membuat Anda siap mengerjakan tugas-tugas.
Gunakan waktu ini untuk: mengerjakan tugas-tugas kantor, menjawab e-mail klien dan memberikan presentasi pada bos dan klien.
Pukul 14.00-15.00
Waktu Terbaik untuk Istirahat
Pada jam ini Anda bisa menjadi sangat tidak produktif, apalagi setelah makan siang. Penurunan suhu tubuh yang membantu menenangkan untuk tidur di malam hari akan juga terjadi pada jam ini. Selain itu, untuk mencerna makan siang Anda, tubuh harus menarik darah dari otak ke perut, otomatis setelah makan siang, tubuh Anda pun berharap bisa beristirahat sejenak untuk mencerna makanan tadi.
Gunakan waktu ini untuk: Menarik nafas, berdoa, peregangan, jalan cepat sejenak di sekitar kantor atau minum air putih. Cara-cara ini sangat baik untuk mengalirkan darah dari perut ke otak sehingga bisa mengurangi rasa kantuk.
Pukul 15.00-18.00
Waktu Terbaik untuk Kerja Sama
Menurut Paul Nussbaum Ph.D penulis buku Your Brain Health Lifestyle, antara pukul 3 siang sampai 6 sore, otak Anda sudah mulai menunjukkan tanda kelelahan. Karena inilah, pikiran Anda tidak setajam waktu-waktu sebelumnya.
Gunakan waktu ini untuk: brainstorming dengan rekan kerja atau rapat dengan tingkat ketegangan rendah. Jika Anda sudah pulang kerja di akhir jam ini, gunakan waktu untuk menguatkan otak, misalnya dengan mengerjakan aktivitas berbeda dari pekerjaan, biasanya olahraga.
Nah, setelah pukul 18.00 ini, Anda bisa melakukan banyak hal yang berkaitan dengan hal pribadi, seperti bertemu dengan teman-teman atau menikmati makan malam yang lezat. Tapi jangan keterusan yaa... karena pada pukul 22.00, saatnya Anda memprioritaskan tidur yang cukup.
Ketika Anda tidur, ternyata otak tidak sepenuhnya tidur, ia bekerja merangkai semua yang telah dialami dan dipelajari sepanjang hari ini. Wajar saja, banyak orang berhasil menemukan solusi dari masalahnya setelah tidur cukup, 7-8 jam sehari. Tak hanya itu, dengan memperhatikan irama otak ketika bekerja juga membuat Anda lebih sehat. Jadi, siap terima tantangan?
Sumber: Majalah Chic No. 18 Sept. 2008
Bila ingin meramu obat batuk herbal sendiri, kombinasikan bahan-bahan yang dibutuhkan sehingga menjadi ramuan obat yang berguna sebagai penekan batuk, pengurang sekresi bronkus, atau perangsang saluran napas dan pendorong keluarnya dahak. Tak beda dengan ramuan obat batuk yang dijual bebas di apotek atau toko obat.
Empat jenis ramuan berikut ini bisa dicoba.
Ramuan 1:
8 g kencur, 2 lembar daun sirih, 2 g buah adas, 2 g daun saga, 0,05 g buah kemukus, 0,05 g kapulaga. Semua bahan direbus dengan 135 ml air dan diminum dua kali sehari selama dua minggu.
Ramuan 2:
1 siung bawang putih, 1 sendok makan air jahe, air kunyit, air jeruk nipis, madu, dan 3 sendok makan air matang. Ramuan dikukus, lalu diminumkan tiga atau empat kali sehari dua sendok teh.
Ramuan 3:
3 buah kapulaga, 15 butir kemukus, 1 sendok teh jintan hitam, 1 sendok teh adas, 1 jari pulosari, 2 jari rimpang kencur, dicuci, ditumbuk halus, diremas dengan minyak kelapa 1 sendok makan dan minyak kayu putih 1 sendok teh, untuk melumas dada dan leher.
Ramuan 4:
4 buah kemukus, 1 jari kulit kayu manis, dicuci dan dipotong seperlunya, direbus dengan air bersih 4 gelas makan sehingga hanya tinggal setengahnya; sesudah dingin disaring dan diminum dengan madu murni seperlunya (tiga kali sehari).
*********
Untuk batuk kering:
Jeruk nipis
Ambil 1 buah jeruk nipis yang banyak airnya, peras dan tambahkan 2 sendok makan madu. Aduk lalu diminum dua kali sehari (pagi dan petang).
Belimbing wuluh
Ambil 10 buah belimbing wuluh, cuci bersih lalu ditumbuk halus. Tambahkan 1 cangkir air masak dan sedikit garam sedikit. Setelah diperas dan disaring, minumlah dua kali sehari (pagi dan petang).
Kencur
Ambil 1 jari rimpang kencur (jangan dibuang kulitnya). Cuci bersih dan langsung dikunyah halus dengan garam sedikit. Telan dan gelontor dengan minum air hangat. Lakukan dua kali sehari.
Daun saga
Ambil 1 genggam daun saga beserta tangkainya dan 1 genggam daun asam. Rebus dengan 3 gelas air bersih hingga menjadi 2 gelas. Diamkan sampai menjadi dingin, saring dan minum dua kali sehari.
Sebagai ekspektoran:
Kapulaga
Seduh 5 g serbuk buah adas dengan secangkir air mendidih. Setelah dingin disaring, tambahkan 1 sendok teh madu. Aduk merata, minum sekaligus. Diminum dua kali sehari sampai sembuh.
Lidah buaya
Ambil 1 batang daun lidah buaya dihilangkan durinya. Cuci bersih dan diparut, diperas, lalu diaduk dengan 6 sendok makan madu. Minum beberapa kali.
Sebagai peluruh dahak:
Jahe
Ambil 1/2 ruas jahe dan tumbuk hingga halus. Tambahkan 2 gelas air bersih lalu rebus sampai 1/2 jam. Minum rebusan 2 - 3 kali sehari.
Untuk sesak napas:
Patikan kerbau
Ambil segenggam herba patikan kerbau. Tambahkan air dan lumatkan. Peras menjadi 1/2 mangkuk dan diminum.
Adas
Ambil 10 tetes minyak adas. Seduh dengan 1 sendok makan air panas. Minum selagi hangat. Lakukan tiga kali sehari sampai sembuh.
Untuk batuk lebih dari 100 hari dan kering:
Bidara upas
Ambil 30 g umbi bidara upas yang masih segar, dicuci dan diparut. Tambahkan 2 sendok makan air masak. Saring lalu tambahkan 1 sendok makan madu. Aduk kemudian diminum tiga kali sehari.
Sumber: Intisari
Wednesday, October 29, 2008
10 JURUS MENYELAMATKAN INDONESIA
Untuk itu seperti dirilis Republika, pemerintah mencanagkan 10 jurus dmenyelamatkan perekonomian Indonesia.
1. Menjaga kesinambungan neraca pembayaran atau devisa dengan mewajibkan BUMN
menempatkan hasil valasnya di bank dalam negeri atau dalam satu clearing house
2. Menjaga kesinambungan neraca pembayaran dan mempercepat pembangunan insfra-
struktur
3. Menjaga stabilitas likuiditas dan mencegah perang harga dengan menginstruksi-
kan BUMN tak memindahkan dana dari bank ke bank
4. Nebjaga stabilitas pasar SUN. Pemerintah dan BI membeli kembali SUN di pasar
sekunder. Pembelian secara bertahap dalam jumlah terukur
5. Memanfaatkan bilateral swap arrangement bila aperlu
6. Menjaga keberlangsungan ekspor dengan menyediakan fasilitas rediskonto wesel
ekspor per 1 November 2008
7. Pengurangan pungutan ekspor CPO menjadi nol persen per 1 November 2008
8. Menjaga kesinambungan fiskal 2009
9. Mencegah importasi ilegal
10.Meningkatkan apengawasan barang beredar
sumber : Republika, 29 Oktober 2008
Saturday, October 25, 2008
tUJUH kEAJAIBAN dUNIA
Pada awal dari pelajaran, mereka diminta untuk membuat daftar apa yang
mereka pikir merupakan 'Tujuh Keajaiban Dunia' saat ini. Walaupun ada
beberapa ketidaksesuaian, sebagian besar daftar berisi:
1] Piramida
2] Taj Mahal
3] Tembok Besar Cina
4] Menara Pisa
5] Kuil Angkor
6] Menara Eiffel
7] Kuil Parthenon
Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya.
Gadis pendiam itu menjawab, 'Ya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya.' Sang guru berkata,'Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan mungkin kami bisa membantu memilihnya.'
Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, 'Saya pikir, 'Tujuh Keajaiban
Dunia' adalah,
1] Bisa melihat,
2] Bisa mendengar,
3] Bisa menyentuh,
4] Bisa menyayangi,
5] Bisa merasakan,
6] Bisa tertawa, dan
7] Bisa mencintai
Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya 'keajaiban'. Sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan karuniakan untuk kita, kita menyebutnya sebagai 'biasa'.
Sumber: MUVI-CONSULTING
Monday, October 13, 2008
KRISIS EKONOMI AMERIKA SERIKAT, MENGAPA?
Seperti mengulang kejadian Great Depression, dimana saat ini banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis Ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.
Mengapa Krisis Ekonomi melanda Amerika Serikat?
Mungkin ini menjadi pertanyaan bagi sebagian besar orang, mengapa negara super power dan terkenal kuat finansialnya bisa mengalami krisis moneter atau ekonomi. Dan kemungkinan berada di ambang kebangkrutan yang akan menyengsarakan rakyatnya dan sebagian besar negara di dunia.
Ada sebuah penjelasan dari Bpk Dahlan Iskan, pada Jawa Pos tanggal 28 september 2008 yang isinya hampir sehalaman penuh. Saya berusaha untuk meringkas penjelasan tersebut untuk mendapatkan analisis beliau tentang mengapa krisis ekonomi bisa melanda negara sekelas Amerika Serikat. Berikut rangkumannya.
Sebuah perusahaan yang go public dituntut untuk meningkatkan laba hingga 20 persen tiap tahunnya. Tentang bagaimana caranya, CEO dan direktur yang akan mengaturnya. Pemilik perusahaan atau pemegang saham tidak mau tau yang penting harga saham naik dan laba terus meningkat.
Mengapa harga saham harus selalu naik, alasannya adalah jika saham dijual maka harga saham harus lebih tinggi dari harga saham saat membeli. Dan mengapa laba harus naik? alasannya jika saham tidak dijual maka setiap tahunnya mereka bisa mendapat pembagian laba atau deviden yang bertambah banyak.
Sehingga CEO selalu mencari cara untuk melakukan 2 hal di atas tadi. Alasannya agar tetap dapat mempertahankan jabatan dan gaji dan bonus yang selalu meningkat. CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali gaji Presiden Bush. Sehingga antara pemegang saham dan CEO menemukan sumbu temu untuk mendapatkan 2 hal di atas.
Berbagai cara dilakukan hingga melibatkan pelaku politik, banyak kebijakan yang memungkinkan perubahaan aturan dan undang-undang untuk memungkinkan segala cara para CEO tersebut. Bagi pelaku politik keuntungannya adalah mendapatkan dana kampanye dan dukungan.
Dengan cara ini ekonomi AS berkembang pesat, semua orang mampu membeli kebutuhan hidup. Sehingga AS memerlukan banyak barang. Jika tidak bisa dibuat di dalam negeri maka pesan dari negara lain. Maka tak heran China memiliki cadangan devisa terbesar yaitu 2 triliun USD karena memasok banyak barang ke AS.
Sudah 60 tahun AS membesarkan perusahaan seperti itu, yang merupakan bagian dari ekonomi kapitalis sehingga AS menjadi penguasa dunia. Tapi itu belum cukup, segala hal harus yang terbaik, terkomputerisasi, bonus yang sudah besar harus dibuat lebih besar lagi. Disinilah ketamakan AS terlihat.
Ketika semua orang sudah membeli rumah, seharusnya tidak ada lagi perusahaan penjual rumah bukan. Namun kenyataannya perusahaan harus meningkatkan penjualan untuk mendapatkan pertumbuhan laba. Maka dicarilah jalan agar rumah terjual lebih banyak. Jika orang sudah memiliki rumah maka diciptakan agar kucing dan anjing juga memiliki rumah. Termasuk mobil.
Namun ketika kucing dan anjing sudah memiliki rumah, siapa lagi yang harus membeli? Maka di tahun 1980, Pemerintah AS mengeluarkan keputusan ‘Deregulasi Kontrol Moneter’, intinya dalam kredit rumah, perusahaan real estate diperbolehkan menggunakan variable bunga. Artinya boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini merupakan peluang besar bagi perusahaan real estate, broker, asuransi dan keuangan.
History Krisis Mortgage di AS
Tahun 1925, AS memiliki UU Mortgage Tentang KPR, yaitu setiap orang yang memenuhi syarat berhak mengajukan dan mendapatkan kredit rumah. Jika penghasilan setahun 100 juta maka ia berhak mengambil kredit mortgage 250 juta. Karena cicilan jangka panjang maka terasa ringan.
Tahun 1980, Keluar kebijakan untuk menaikan bunga. bisnis perumahan ada peluang, bank bisa mendapatkan bunga tambahan dan broker dan bisnis terkait bisa berusaha kembali.
Namun karena semua sudah punya rumah, maka Tahun 1986 pemerintah AS menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya, pembeli rumah diberi keringanan pajak. Bagi warga di negara maju, keringanan pajak akan mendapat sambutan luar biasa karena nilai pajak yang tinggi.
Tahun 1990, dengan fasilitas pajak bisnis rumah meningkat hingga 12 tahun ke depannya. Dari mortgage 150milyar USD dalam setahun menjadi 2 kali lipat di tahun-tahun berikutnya.
Tahun 2004, mortgage mencapai 700 milyar USD per tahun. Gairah bisnis rumah yang terus meningkat ini membuat para pelaku bisnis menghalalkan segala cara. Mulai dari iklan yang jor-joran, keluarnya lembaga investment bank, hingga melunaknya persyaratan KPR. Dalam pikiran pengembang, jika orang tidak bisa membayar kredit atau kredit macet, toh rumah masih bisa dijual karena perhitungannya tiap tahun harga rumah meningkat. Jadi mereka masih untung ketika terjadi kredit macet.
Namun ternyata dalam jangka kurang dari 10 tahun, banyak kredit Macet. Banyak orang menjual rumah, harga menjadi turun sehingga nilai jaminan rumah tidak cocok lagi dengan nilai pinjaman. Satu per satu lembaga investment banking bergururan seperti efek domino.
Berapa juta rumah yang termasuk mortgage? tidak ada data namun dari nilai uangnya sekitar 5 triliun USD. Jadi kalo George Bush meminta bantuan dana 700 milyar USD itu baru sebagian kecil. Kongres kawatir apakah harus menambah 700 milyar USD lagi jika yang pertama tidak berhasil.
Penutup artikel krisis ekonomi di Amerika Serikat
Kabar terakhir menyebutkan Kongres AS kemungkinan besar menyetujui rencana bailout ini. Walau masih belum terlihat dampaknya, namun mudah-mudahan dunia tidak terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan.
Penting bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan informasi sebanyak mungkin untuk mencegah terjadinya rush besar-besaran terhadap bank-bank di Indonesia. Tentunya Krisis Ekonomi yang terjadi tahun 1997 tidak ingin kita ulangi lagi bukan.
Update : rencana bailout ditolak oleh kongres AS. namun setelah melakukan pendekatan dan revisi draft bailout, senat as menyetujui bailout tersebut. kemudian DPR AS pun menyetujui dengan ditandatanganinya UU Bailout oleh presiden Bush.
sumber : www.jualanbuku.com
Friday, October 10, 2008
This Economy Does Not Compute
A FEW weeks ago, it seemed the financial crisis wouldn’t spin completely out of control. The government knew what it was doing — at least the economic experts were saying so — and the Treasury had taken a stand against saving failing firms, letting Lehman Brothers file for bankruptcy. But since then we’ve had the rescue of the insurance giant A.I.G., the arranged sale of failing banks and we’ll soon see, in one form or another, the biggest taxpayer bailout of Wall Street in history. It seems clear that no one really knows what is coming next. Why?
Well, part of the reason is that economists still try to understand markets by using ideas from traditional economics, especially so-called equilibrium theory. This theory views markets as reflecting a balance of forces, and says that market values change only in response to new information — the sudden revelation of problems about a company, for example, or a real change in the housing supply. Markets are otherwise supposed to have no real internal dynamics of their own. Too bad for the theory, things don’t seem to work that way.
Nearly two decades ago, a classic economic study found that of the 50 largest single-day price movements since World War II, most happened on days when there was no significant news, and that news in general seemed to account for only about a third of the overall variance in stock returns. A recent study by some physicists found much the same thing — financial news lacked any clear link with the larger movements of stock values.
Certainly, markets have internal dynamics. They’re self-propelling systems driven in large part by what investors believe other investors believe; participants trade on rumors and gossip, on fears and expectations, and traders speak for good reason of the market’s optimism or pessimism. It’s these internal dynamics that make it possible for billions to evaporate from portfolios in a few short months just because people suddenly begin remembering that housing values do not always go up.
Really understanding what’s going on means going beyond equilibrium thinking and getting some insight into the underlying ecology of beliefs and expectations, perceptions and misperceptions, that drive market swings.
Surprisingly, very few economists have actually tried to do this, although that’s now changing — if slowly — through the efforts of pioneers who are building computer models able to mimic market dynamics by simulating their workings from the bottom up.
The idea is to populate virtual markets with artificially intelligent agents who trade and interact and compete with one another much like real people. These “agent based” models do not simply proclaim the truth of market equilibrium, as the standard theory complacently does, but let market behavior emerge naturally from the actions of the interacting participants, which may include individuals, banks, hedge funds and other players, even regulators. What comes out may be a quiet equilibrium, or it may be something else.
For example, an agent model being developed by the Yale economist John Geanakoplos, along with two physicists, Doyne Farmer and Stephan Thurner, looks at how the level of credit in a market can influence its overall stability.
Obviously, credit can be a good thing as it aids all kinds of creative economic activity, from building houses to starting businesses. But too much easy credit can be dangerous.
In the model, market participants, especially hedge funds, do what they do in real life — seeking profits by aiming for ever higher leverage, borrowing money to amplify the potential gains from their investments. More leverage tends to tie market actors into tight chains of financial interdependence, and the simulations show how this effect can push the market toward instability by making it more likely that trouble in one place — the failure of one investor to cover a position — will spread more easily elsewhere.
That’s not really surprising, of course. But the model also shows something that is not at all obvious. The instability doesn’t grow in the market gradually, but arrives suddenly. Beyond a certain threshold the virtual market abruptly loses its stability in a “phase transition” akin to the way ice abruptly melts into liquid water. Beyond this point, collective financial meltdown becomes effectively certain. This is the kind of possibility that equilibrium thinking cannot even entertain.
It’s important to stress that this work remains speculative. Yet it is not meant to be realistic in full detail, only to illustrate in a simple setting the kinds of things that may indeed affect real markets. It suggests that the narrative stories we tell in the aftermath of every crisis, about how it started and spread, and about who’s to blame, may lead us to miss the deeper cause entirely.
Financial crises may emerge naturally from the very makeup of markets, as competition between investment enterprises sets up a race for higher leverage, driving markets toward a precipice that we cannot recognize even as we approach it. The model offers a potential explanation of why we have another crisis narrative every few years, with only the names and details changed. And why we’re not likely to avoid future crises with a little fiddling of the regulations, but only by exerting broader control over the leverage that we allow to develop.
Another example is a model explored by the German economist Frank Westerhoff. A contentious idea in economics is that levying very small taxes on transactions in foreign exchange markets, might help to reduce market volatility. (Such volatility has proved disastrous to countries dependent on foreign investment, as huge volumes of outside investment can flow out almost overnight.) A tax of 0.1 percent of the transaction volume, for example, would deter rapid-fire speculation, while preserving currency exchange linked more directly to productive economic purposes.
Economists have argued over this idea for decades, the debate usually driven by ideology. In contrast, Professor Westerhoff and colleagues have used agent models to build realistic markets on which they impose taxes of various kinds to see what happens.
So far they’ve found tentative evidence that a transaction tax may stabilize currency markets, but also that the outcome has a surprising sensitivity to seemingly small details of market mechanics — on precisely how, for example, the market matches buyers and sellers. The model is helping to bring some solid evidence to a debate of extreme importance.
A third example is a model developed by Charles Macal and colleagues at Argonne National Laboratory in Illinois and aimed at providing a realistic simulation of the interacting entities in that state’s electricity market, as well as the electrical power grid. They were hired by Illinois several years ago to use the model in helping the state plan electricity deregulation, and the model simulations were instrumental in exposing several loopholes in early market designs that companies could have exploited to manipulate prices.
Similar models of deregulated electricity markets are being developed by a handful of researchers around the world, who see them as the only way of reckoning intelligently with the design of extremely complex deregulated electricity markets, where faith in the reliability of equilibrium reasoning has already led to several disasters, in California, notoriously, and more recently in Texas.
Sadly, the academic economics profession remains reluctant to embrace this new computational approach (and stubbornly wedded to the traditional equilibrium picture). This seems decidedly peculiar given that every other branch of science from physics to molecular biology has embraced computational modeling as an invaluable tool for gaining insight into complex systems of many interacting parts, where the links between causes and effect can be tortuously convoluted.
Something of the attitude of economic traditionalists spilled out a number of years ago at a conference where economists and physicists met to discuss new approaches to economics. As one physicist who was there tells me, a prominent economist objected that the use of computational models amounted to “cheating” or “peeping behind the curtain,” and that respectable economics, by contrast, had to be pursued through the proof of infallible mathematical theorems.
If we’re really going to avoid crises, we’re going to need something more imaginative, starting with a more open-minded attitude to how science can help us understand how markets really work. Done properly, computer simulation represents a kind of “telescope for the mind,” multiplying human powers of analysis and insight just as a telescope does our powers of vision. With simulations, we can discover relationships that the unaided human mind, or even the human mind aided with the best mathematical analysis, would never grasp.
Better market models alone will not prevent crises, but they may give regulators better ways for assessing market dynamics, and more important, techniques for detecting early signs of trouble. Economic tradition, of all things, shouldn’t be allowed to inhibit economic progress.
Mark Buchanan, a theoretical physicist, is the author, most recently, of “The Social Atom: Why the Rich Get Richer, Cheaters Get Caught and Your Neighbor Usually Looks Like You.”
Wednesday, October 08, 2008
GERAKAN SYAHWAT MERDEKA
Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail
Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia,
naik ke daratan, masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang
ni datang susun-bersusun dengan suatu keteraturan, mulai 1998
ketika reformasi meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka
lebar pintu dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek
dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru. Tapi
tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin
kencang dan arus menderu-deru.
Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-
menjamurnya partai-partai politik baru, keleluasaan
berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP (izin penerbitan pers),
dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya pemilihan
umum bebas dan langsung, dan seterusnya, dinikmati belum
sampai sewindu, tapi sementara itu silih berganti
beruntun-runtun belum terpecahkan krisis yang tak habis-
habis. Tagihan rekening reformasi ternyata mahal sekali.
Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu
menumbuh dan menyuburkan kelompok permissif dan addiktif
negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus besar yang
menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang
sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak bersosok
organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi bekerja
sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan
kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan yang
melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik
jadi pengeras suaranya.
Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?
PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan
kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo,
terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian berjelas-
jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih
besar, tak mau menampakkan diri.
KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah
menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan
kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan
kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon
genggam, serta mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan
kue pancong berkumis dan lemper berbaterai) dan boneka
karet perempuan yang bisa dibawa bobok bekerjasama.
KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara
televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan
anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya,
siswa dengan pekerja seks komersial ---- ditayangkan
pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Remaja
berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar
penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan
keluhan pada saya. "Citra kami guru-guru SMA di sinetron
adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan
memalukan." Mari kita ingat ekstensifnya pengaruh
tayangan layar kaca ini. Setiap tayangan televisi,
rata-rata 170.000.000 yang memirsa. Seratus tujuh puluh
juta pemirsanya.
KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno
dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di
internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi
tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya,
dapat diakses tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik
dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam mau pun Klaten.
Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya.
Seorang sosiolog Amerika Serikat mengumpamakan serbuan
kecabulan itu di negaranya bagaikan "gelombang tsunami
setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua
telapak tangan." Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan
situs porno diblokir pemerintah untuk terutama melindungi
anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan hal
yang sama.
KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat
¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul
-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis
yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya
mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia
berkata: "Wah, pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia
berani-berani. Kok mereka tidak malu, ya?" Memang
begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja
pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s.
(sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi
pada banyak bagian dari bangsa.
KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang
kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan
ke bahasa kita itu tampak dari kulit luar biasa-biasa saja,
tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya
(bukan main) antara siswa dengan Bu Guru. Harganya
Rp 2.000. Sebagian komik-komik itu tidak semata lucah
saja, tapi ada pula kadar ideologinya. Ideologinya adalah
anjuran perlawanan pada otoritas orangtua dan guru, yang
banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas. Dalam
salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit
adalah pada Menteri Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks
terjemahan berubah, yang dikecam jadinya Menteri Pendidikan
Nasional kita.
KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton
VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi sorga besar pornografi
paling murah di dunia, diukur dari kwantitas dan harganya.
Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya ketahui, tapi
literatur menyebut antara 2 juta - 20 juta keping setahun.
Harga yang dulu Rp30.000 sekeping, kini turun
menjadi Rp3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3
batang rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton
sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi
selama 60 menit. Luar biasa murah. Anak SD kita bisa
membelinya tanpa risi tanpa larangan peraturan pemerintah.
Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada
murid-murid laki-laki yang kumpul jam dua sore seminggu di
rumah salah seorang dari mereka, lalu menayangkan VCD-DVD
porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama. Siswa
sekolah apa, dan kelas berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak
diceritakan apa ekses selanjutnya.
KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras
dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran.
Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana,
harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah,
remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa
batas umur larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar
besar minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.
KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba.
Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan
pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen
dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai
pengguna, ratusan ribu menjadi korbannya.
KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin.
Korban racun nikotin 57.000 orang / tahun, maknanya setiap
hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu
rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak Rp15 triliun (1996),
tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya Rp 30
triliun rupiah. Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin
termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka
ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yang sangat
mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut
dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat
permissif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan
nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan. Interaksi ini
kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas berikutnya,
seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap
hari berita semacam ini dapat dibaca di koran-koran.
KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan.
Dalam masyarakat permissif, iklan semacam ini menjadi
jembatan komunikasi yang diperlukan.
KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila
hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia,
hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan
keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.
KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh
unsur pertama di atas, kasus perkosaan dan kehamilan di
luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat kita
baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau
rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu
pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab
dia/mereka memperkosa, selalu dijawab 'karena terangsang
sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya.
Praktisi aborsi gelap menjadi tempat pelarian, bila
kehamilan terjadi.
Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa
angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15
detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal
akibat dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah
produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.
Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan
pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi
pro-kontra RUU APP.
Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total
kontra menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat
merdeka ini. Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di
dalamnya.
Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnaka n adalah
perlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap
kekerasan pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan
betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar
pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat,
lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan
seks pra-nikah. Sementara anak-anak di Amerika Serikat dilindungi oleh
6 Undang-undang, anak-anak kita belum, karena undang-undangnya belum
ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena kunonya. Gelombang
Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak melindungi
anak-cucu kita sendiri.
Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi
bahu-membahu menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas
dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya
materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.
Menguji Rasa Malu Diri Sendiri
Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya
yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, "Kalau cerpen saya itu
dianggap pornografis, wah, sedihlah saya." Saya waktu itu belum sempat
membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai
pornografi. Begini.
Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya
saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya
saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau
adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu,
mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota
pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu,
tiada dipermalukan, tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik
karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi.
Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya
merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak
dan jijik, maka karya saya itu pornografis.
Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya
menilai karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama
juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa
melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa.
Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang
kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu
banyak hal.
Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang
taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di
Indonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani
pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan
internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan
situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah
pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba
menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa
pasarnya luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal
berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan
fundamentalis- syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity
Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.
Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy
Indonesia, saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan,
yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung,
ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak perempuan mereka sendiri.
Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika Playboy
Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model
yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat
dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi
dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak?
Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirak
an-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang membaca karya
pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang
memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin,
apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan
kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal,
maka pembaca akan terangsang. Sesudah terangsang yang paling penakut
akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan
dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Perkosaan
banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum
haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu
pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.
Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya
kenapa, umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka
terangsang ingin mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati
perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang
sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat
tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca
cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.
Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan
penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di
kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol
dan narkoba yang tak kalah destruktifnya.
Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis
Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh
penulis cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan
dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke
sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin
ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi
sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka
membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan
syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang
itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea
di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadi
selanjutnya?
Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu,
beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar-
pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20
juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat
konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya
Rp30.000 sekeping, kini Rp3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok
kretek. Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki
dan menonton sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama
dengan produsen alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah
menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif
serba-boleh- apa-saja-genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa
yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan
moralitas anak bangsa.
Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra Selangkang
Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya
penulis yang disebut di atas. Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu
lancar dibaca. Dalam segi isi sederhana saja, dan secara klise sering
ditulis pengarang Indonesia yang pertama kali pergi ke luar negeri,
yaitu pertemuan seorang laki-laki di negeri asing dengan perempuan
asing negeri itu. Kedua-duanya kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa
isteri di kampung. Di akhir cerita mereka berpelukan dan berciuman.
Begitu saja.
Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan
sikap yang jelas terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana
hubungan itu berlanjut, juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada
hubungan pernikahan atau perzinaan, kabur adanya. Perzinaan adalah
sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak orang lain, yaitu
hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah. Pezina
melakukan intervensi terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai.
Dia tak punya hak untuk itu. Yang dizinai bersekongkol dengan yang
melakukan penetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya. Pemerkosa
adalah perampok penggunaan alat kelamin orang yang diperkosa.
Penggunaan alat kelamin seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang
suci adanya.
Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga
pernikahan, dan/atau melakukan hubungan kelamin semaunya, yang
tokoh-tokoh dalam karyanya diberi peran syahwat merdeka, adalah
rombongan pencuri bersuluh sinar rembulan dan matahari. Mereka maling
tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi maling, karena
(herannya) ada propagandis sastra menghadiahi mereka glorifikasi, dan
penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis dan penerbit sastra
semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot dengan maling.
Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi
juga untuk bacaan turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori
semacam itu. Buku petunjuk yang begitu langsung tak langsung
menunjukkan cara berzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat
berkumpulnya alat-alat kelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara
membayar tunai atau dengan kartu kredit gesekan.
Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah
wilayah selangkang dan sekitarnya. Kalau di Malaysia
pengarang-pengarang yang mencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka
di Indonesia pengarang sastra selangkang mayoritas perempuan. Beberapa
di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga ada
kritikus sastra sampai hati menyebutnya "vagina yang haus sperma".
Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentang
kemungkinannya jadi epidemi, dan harus dikasihani.
Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi
Selatan naik takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau
Ratu dengan kenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini
sejumlah perempuan Indonesia mencari dan memburu tepuk tangan kelompok
permissif dan addiktif sebagai penulis sastra selangkang, yang
aromanya jauh dari wangi, menyiarkan bau amis-bacin kelamin
tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.
Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan
Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing
Program, Universitas Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya
gelombang gerakan perempuan. Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya
sampai ke Indonesia. Kaum feminis Amerika waktu itu sedang
gencar-gencarnya mengumumkan pembebasan kaum perempuan, terutama
liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin, di koran, majalah, buku dan
televisi.
Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang
lain itu di layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti
Gloria Steinem dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya.
Mereka tidak peduli terhadap epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang
meruyak menyebar seantero Amerika Serikat waktu itu, menimpa baik
orang laki-laki maupun perempuan, hetero dan homoseksual, akibat
kebebasan yang bablas itu.
Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korban
HIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka
manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar
matanya kosong, suaranya parau. Kematian banyak anggota kelompok ini,
terutama di kalangan seniman di tahun 1970-an, tulis seorang esais,
bagaikan kematian di medan perang Vietnam. Sebuah orkestra simfoni di
New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena
kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan bablas itu. Para
pembebas kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa
karena asyik mendandani penampilan selebriti diri sendiri. Saya sangat
heran. Sungguh memuakkan.
Kalimat bersayap mereka adalah, "This is my body. I'll do whatever I
like with my body." "Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku
suka dengan tubuhku ini." Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh
mereka itu ciptaan mereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman kredit
mencicil dari Tuhan, Cuma satu tingkat di atas sepeda motor Jepang dan
Cina yang diobral di iklan koran-koran.
Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu. Penganjur
masyarakat permissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan
dalam urusan. Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan
ringan nama Tuhan dipermainkan dalam karya. Situasi kita kini
merupakan riak-riak gelombang dari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad
21 ini, advokatornya dengan semangat dan stamina mirip anak-anak
remaja bertopi beisbol yang selalu meniru membeo apa saja yang berasal
dari Amerika Utara itu.
Penutup
Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah
budaya malu yang telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat
dan rohani mereka, dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak
penggunaan kelamin orang lain yang disabet-dicopet- dikorupsi dengan
entengnya. Tanpa memiliki hak penggunaan kelamin orang lain, maka
sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka adalah maling dan garong
genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi
perantara kejahatan, mencecerkan HIV-AIDS, prostitusi dan aborsi,
bersuluh bulan dan matahari.
Wednesday, October 01, 2008
PESANKAN SAYA TEMPAT DI NERAKA!!!
Tulisan ini dalam suasana merayakan hari fitri yang agung, ditujukan kepada siapa saja yang merasa beriman kepada Allah untuk sekedar bertafakur atas kehidupan kita dikeseharian. Dan, tulisan ini tidak untuk menggurui apalagi kampanye dmendukung RUU Pornografi, sebuah kisah seorang wanita “bule” bersumber dari rumah ilmu Indonesianya mas reza ervani, sorry mas reza kayaknya penting untuk disebarluaskan kali ya….. dan kupotong pada inti tulisan.
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk
tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas
menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan
menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang
memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang
perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai
penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat
pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang
'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan
bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak
baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga
melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak
hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia
ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak
berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
"Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!"
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya
beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang
lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan
dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir
mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun,
tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat
tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
"Bangunkan saja!" kata seorang penumpang.
"Iya, bangunkan saja!" teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si
wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah.
Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut
benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan
neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid
serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua
yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu
Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk...
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a'lam.
Ditulis dalam majalah Almannar (bukan Almannar yang dulu dikelola syekh
Muhammad Rasyid Ridho yang kemudian menulis tafsir Almannar itu,
melainkan Almannar Aljadid/neo- Almannar) , seperti dikutip dalam
http://religiusta. multiply. com/journal/ item/233<http://religiusta. multiply. com/journal/ item/233>
http://www.p3ei. com/index. php?option= com_content& task=view& id=103&Itemid= 1<http://www.p3ei. com/index. php?option= com_content& task=view& id=103&Ite. ..>