oleh : habiburahman el Shirazy
MEREKA bukan orang-orang malas.Para petani, penjual kayu bakar, pedagang mebel keliling, penjual bakso dorong, tukang membuat sumur, dan yang lainnya itu bukanlah orang-orang malas.
Bahkan, kita bisa menemukan mereka adalah para pekerja keras yang luar biasa. Tak jauh dari tempat tinggal saya di Salatiga, saya bisa menemukan seorang petani yang begitu salat subuh, langsung bekerja di sawah. Ia baru akan pulang menjelang maghrib. Satu hari penuh ia bekerja. Saya sering menemukan penjual mebel keliling yang luar biasa kuat. Suatu kali ia menjual almari kayu yang berat. Almari itu ia gotong sendirian. Ia seret pakai gerobak keliling kampung ke kampung dengan jalan kaki. Satu hari bisa berbelas, bahkan berpuluh-puluh kilometer ia tempuh.
Terkadang, saya menemukannya memanggul dipan kayu tanpa alat bantu gerobak. Dan ia kuat, membawa dipan kayu itu berkilo-kilo meter untuk mencari pembeli. Terkadang tiga hari keliling, dipan itu belum juga terjual. Bahkan, tak jarang satu minggu baru terjual satu. Di tempat saya lahir, ada seseorang yang dikenal sebagai pembuat sumur. Sejak saya kecil, ia telah bekerja membuat sumur. Dengan kedua tangannya, ia lubangi kerak bumi sampai menemukan mata air.
Mungkin sudah tidak terhitung sumur yang berhasil ia buat. Dan sampai sekarang, ketika usianya mulai senja, ia juga tetap menjalani profesi yang sama, yaitu sebagai tukang sumur. Biasanya ia diupah harian. Untuk satu sumur yang ia kerjakan bisa satu bulan, ia mendapat upah tak lebih dari sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari. Petani, penjual mebel keliling, tukang sumur, penjual bakso dorong, tukang becak, dan yang semisalnya itu, sekali lagi bukanlah pemalas.
Mereka bahkan para bekerja keras yang setiap hari keringatnya bercucuran membasahi bumi. Mereka bekerja dengan semangat yang luar biasa. Namun, kita masih menemukan kehidupan sehari-hari mereka yang memprihatinkan. Kenapa? Padahal, mereka telah bekerja keras. Di sisi lain, cobalah kita tengok dunia para bos. Bos sebuah pabrik makanan ringan yang setiap hari memetik keuntungan ratusan juta, misalnya.
Ia masih santai di rumahnya yang mewah ketika para petani sudah berkubang dengan lumpur sawah. Ditemani secangkir kopi dan pisang goreng, ia membaca koran dan merancang kemajuan penjualan perusahaannya. Sambil makan pisang goreng, satu dua kali ia melakukan pembicaraan bisnis dari rumahnya, dengan hand phone-nya. Pukul sebelas siang, ia baru masuk kantor. Kantor yang sangat nyaman. Ia hanya menerima tamu tak lebih dari setengah jam.
Lalu, terjadilah kesepakatan bisnis. Dan dari kesepakatan itu, ia sudah untung sekian puluh juta. Di
Setiap hari ia bisa meraih untung jutaan rupiah. Jika si penjual mebel keliling dengan keringat bercucuran dan harus menempuh jarak puluhan kilometer baru bisa menjual almari kayunya, ia cukup duduk manis dan produk mebelnya, tidak hanya almari, laris terjual. Si pemilik toko mebel itu bahkan tidak berkeringat sama sekali, sebab tokonya ber-AC. Terkadang, ia sama sekali tidak datang ke toko mebelnya.Ia nyantai di rumahnya, tapi toko tetap buka, bisnis tetap bisa jalan dan jutaan rupiah tetap datang.
Kalau kita boleh jujur, jauh sekali nasib petani dan bos perusahaan makanan ringan itu. Dan, jauh sekali nasib penjual mebel keliling dan pemilik toko mebel.
Apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan dua kelompok itu,bos dan petani itu? Orang-orang yang apatis biasanya langsung menjawab, bahwa hal seperti itu sudah merupakan takdir. Manusia yang jadi petani itu memang ditakdirkan miskin. Dan, yang jadi bos itu memang ditakdirkan kaya. Kalau takdirnya miskin mau bekerja kayak apa, ya tetap miskin. Kalau takdirnya kaya, cuma tanda tangan saja bisa kaya. Bagi orang-orang yang optimis dan berpikir kreatif akan menjawab, suatu ketika para petani itu akan bisa seperti para bos itu, bahkan bisa melebihinya.
Lihatlah betapa banyak petani yang sukses. Dengan kerja-kerja yang cerdas dan efektif, petani bisa mendapatkan keuntungan yang tidak kalah dengan para bos itu. Petani yang kreatif itu bahkan bisa melebarkan sayap bisnisnya dan ia juga bisa menjadi bos. Melihat fenomena itu ada yang menyalahkan jenis pekerjaan.Ketika melihat petani miskin ia mengatakan, salah sendiri jadi petani.
Ya, wajar jika miskin. Ia melihat akar masalah kemiskinan itu, ya memilih pekerjaan seperti petani itu. Kalau saya melihat kunci yang membedakan orang yang sukses dan yang tidak selain di etos kerja juga adalah cara kerjanya itu sendiri. Bekerja keras saja tidak cukup. Buktinya penjual mebel keliling, meskipun sudah bekerja keras memanggul dipan berpuluh kilometer, tidak juga kaya, sebab belum tentu dipannya laku.Ia telah bekerja keras, tapi tidak bekerja dengan cerdas dan efektif. Beda dengan pemilik toko mebel yang cerdas.
Cukuplah ia iklan sedikit di
Cuma satu yang bisa ia bawa dan ia tawarkan. Bagaimana dengan orang yang ingin beli dipan, tapi tidak suka dengan model dipan yang ia bawa? Jawabannya, ya satu: tidak jadi beli. Jika amati di sekitar kita, masih banyak penduduk negeri ini melakukan kerja-kerja yang tidak efektif dan tidak cerdas. Hampir di banyak lini. Termasuk ruwetnya masalah DPT kemarin adalah akibat dari kerja tidak cerdas pemerintah dalam memantau data penduduk. Sistem pendidikan yang masih kacau balau adalah juga akibat cara kerja yang tidak cerdas.
Ketertinggalan kita dengan negara lain, termasuk dengan tetangga kanan-kiri kita adalah di cara kerja.Kita masih kalah cerdas. Akibatnya, meskipun keringat lebih banyak kita kucurkan tapi kita masih ketinggalan.
No comments:
Post a Comment