Monday, September 28, 2009

Menyusuri jejak

Museum Fatahillah
by : kasmadi

Sebagai anak betawi tidak afdhol kalau tidak mengetahui sejarah kotanya : Jakarta. Selama liburan lebaran sekeluarga menghabiskan seharian menikmati kota tua, salah satunya museum fatahilah.


Sejarah kota Jakarta diperkirakan dimulai sekitar 3500 SM, yang diawali dengan terbentuknya pemukiman sejarah di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung. Seiring berjalannya waktu, Jakarta berkembang demikian pesatnya sesuai dengan predikatnya sebagai ibu kota negara. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit dibangun di setiap sudut kota. Namun dibalik kemegahannya ternyata di salah satu sudut wilayah Jakarta masih menyimpan bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai sejarah yaitu kawasan kota. Keberadaannya justru merupakan kelebihan yang dimiliki Jakarta dan aset bernilai tinggi, salah satunya adalah Museum Fatahillah

Berjalan kearah utara dari stasiun kota sekitar 300 meter atau kira-kira 10 menit berjalan kaki, kita akan menemui Museum Sejarah Jakarta atau sering disebut Museum Fatahillah. Di daerah tersebut juga terdapat lapangan yang luas yaitu Taman Fatahillah, sebuah alun-alun besar yang dikelilingi bangunan tua bersejarah. Berlokasi di kawasan bersejarah Taman Fatahillah Jakarta Kota, Museum Fatahillah diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 30 Maret 1974. Bangunan bergaya arsitetur kuno abad-17 menempati areal tanah seluas 13 ribu meter persegi.


Dahulu bernama Stadhuis atau Stadhuisplein, digunakan sebagai Balai Kota, pusat pemerintahan Belanda saat berkuasa di Indonesia. Di bagian dalam museum ini, ditampilkan sejarah Jakarta dari masa ke masa, selain itu juga dipamerkan hasil penggalian arkeologi, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Padjajaran. Museum ini juga terkenal memiliki koleksi yang tak ternilai harganya, yaitu meubel antik abad ke-17 dan 19, yang mencerminkan perpaduan gaya Eropa, Cina dan Indonesia, gaya hidup masyarakat Batavia waktu itu.

Meskipun ada juga keramik, gerabah hingga batu prasasti. Koleksi lainnya adalah logam zaman VOC, aneka dacin / timbangan, perabotan rumah tangga antik dari abad 17-19, benda-benda arkeologi dari masa pra-sejarah, masa Hindu Budha hingga masa Islam, meriam kuno serta bendera dari zaman Fatahillah. Juga terdapat lukisan-lukisan karya Raden Saleh, koleksi benda budaya masyarakat Betawi yang diketahui adalah merupakan masyarakat pemula yang bermukim di Jakarta. Koleksi-koleksi ini tersimpan di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin. Bahkan kini juga terdapat patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang awalnya terletak di perempatan harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.

Di sebelah timur pintu utama Museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial dan penataan interiornya yang disesuaikan, dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial. Yang menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab, dan Belanda. Mulai dari Portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwich “van zeulen”, “east indies” chef’s, soup “Ali Martak”, sampai ikan bawal “si pitung” dan pisang goreng “Nyai Dasima” tersedia di kafe ini. Jika ingin merasakan bagaimana suasana interaksi sosial pada jaman Belanda, tidak ada salahnya untuk mampir dan menghabiskan waktu di kafe museum. Kafe ini pada saat-saat tertentu akan menyajikan traditional live music seperti tanjidor, orkes keroncong, gambang kromong, dan aneka tarian betawi, terlebih jika ada even-even khusus.

sumber tulisan : www.tamanismailmarzuki.com

Monday, September 14, 2009

Borobudur On Click





Friday, September 04, 2009

Bekerja Cerdas

oleh : habiburahman el Shirazy

MEREKA bukan orang-orang malas.Para petani, penjual kayu bakar, pedagang mebel keliling, penjual bakso dorong, tukang membuat sumur, dan yang lainnya itu bukanlah orang-orang malas.

Bahkan, kita bisa menemukan mereka adalah para pekerja keras yang luar biasa. Tak jauh dari tempat tinggal saya di Salatiga, saya bisa menemukan seorang petani yang begitu salat subuh, langsung bekerja di sawah. Ia baru akan pulang menjelang maghrib. Satu hari penuh ia bekerja. Saya sering menemukan penjual mebel keliling yang luar biasa kuat. Suatu kali ia menjual almari kayu yang berat. Almari itu ia gotong sendirian. Ia seret pakai gerobak keliling kampung ke kampung dengan jalan kaki. Satu hari bisa berbelas, bahkan berpuluh-puluh kilometer ia tempuh.

Terkadang, saya menemukannya memanggul dipan kayu tanpa alat bantu gerobak. Dan ia kuat, membawa dipan kayu itu berkilo-kilo meter untuk mencari pembeli. Terkadang tiga hari keliling, dipan itu belum juga terjual. Bahkan, tak jarang satu minggu baru terjual satu. Di tempat saya lahir, ada seseorang yang dikenal sebagai pembuat sumur. Sejak saya kecil, ia telah bekerja membuat sumur. Dengan kedua tangannya, ia lubangi kerak bumi sampai menemukan mata air.

Mungkin sudah tidak terhitung sumur yang berhasil ia buat. Dan sampai sekarang, ketika usianya mulai senja, ia juga tetap menjalani profesi yang sama, yaitu sebagai tukang sumur. Biasanya ia diupah harian. Untuk satu sumur yang ia kerjakan bisa satu bulan, ia mendapat upah tak lebih dari sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari. Petani, penjual mebel keliling, tukang sumur, penjual bakso dorong, tukang becak, dan yang semisalnya itu, sekali lagi bukanlah pemalas.

Mereka bahkan para bekerja keras yang setiap hari keringatnya bercucuran membasahi bumi. Mereka bekerja dengan semangat yang luar biasa. Namun, kita masih menemukan kehidupan sehari-hari mereka yang memprihatinkan. Kenapa? Padahal, mereka telah bekerja keras. Di sisi lain, cobalah kita tengok dunia para bos. Bos sebuah pabrik makanan ringan yang setiap hari memetik keuntungan ratusan juta, misalnya.

Ia masih santai di rumahnya yang mewah ketika para petani sudah berkubang dengan lumpur sawah. Ditemani secangkir kopi dan pisang goreng, ia membaca koran dan merancang kemajuan penjualan perusahaannya. Sambil makan pisang goreng, satu dua kali ia melakukan pembicaraan bisnis dari rumahnya, dengan hand phone-nya. Pukul sebelas siang, ia baru masuk kantor. Kantor yang sangat nyaman. Ia hanya menerima tamu tak lebih dari setengah jam.

Lalu, terjadilah kesepakatan bisnis. Dan dari kesepakatan itu, ia sudah untung sekian puluh juta. Di kota saya, meskipun kecil, ada toko penjual mebel yang sangat ramai pembeli. Pemiliknya dulunya adalah orang tidak punya. Ia memulai dari nol.Modal awalnya dari meminjam ke sana ke mari. Ia berpikir keras bagaimana bisa sukses berbisnis mebel. Seiring berjalannya waktu dengan kerjakerja yang efektif, sekarang ia memiliki toko mebel yang besar.

Setiap hari ia bisa meraih untung jutaan rupiah. Jika si penjual mebel keliling dengan keringat bercucuran dan harus menempuh jarak puluhan kilometer baru bisa menjual almari kayunya, ia cukup duduk manis dan produk mebelnya, tidak hanya almari, laris terjual. Si pemilik toko mebel itu bahkan tidak berkeringat sama sekali, sebab tokonya ber-AC. Terkadang, ia sama sekali tidak datang ke toko mebelnya.Ia nyantai di rumahnya, tapi toko tetap buka, bisnis tetap bisa jalan dan jutaan rupiah tetap datang.

Kalau kita boleh jujur, jauh sekali nasib petani dan bos perusahaan makanan ringan itu. Dan, jauh sekali nasib penjual mebel keliling dan pemilik toko mebel. Para bos itu kelihatan mudah sekali menghasilkan uang, tanpa banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Sementara para petani itu, meskipun telah berpeluh berkeringat, tetap banyak yang susah makan. Seandainya para petani itu bekerja dua puluh empat jam dengan pola dan cara yang sama, tampaknya tidak juga membuat hidupnya berubah.

Apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan dua kelompok itu,bos dan petani itu? Orang-orang yang apatis biasanya langsung menjawab, bahwa hal seperti itu sudah merupakan takdir. Manusia yang jadi petani itu memang ditakdirkan miskin. Dan, yang jadi bos itu memang ditakdirkan kaya. Kalau takdirnya miskin mau bekerja kayak apa, ya tetap miskin. Kalau takdirnya kaya, cuma tanda tangan saja bisa kaya. Bagi orang-orang yang optimis dan berpikir kreatif akan menjawab, suatu ketika para petani itu akan bisa seperti para bos itu, bahkan bisa melebihinya.

Lihatlah betapa banyak petani yang sukses. Dengan kerja-kerja yang cerdas dan efektif, petani bisa mendapatkan keuntungan yang tidak kalah dengan para bos itu. Petani yang kreatif itu bahkan bisa melebarkan sayap bisnisnya dan ia juga bisa menjadi bos. Melihat fenomena itu ada yang menyalahkan jenis pekerjaan.Ketika melihat petani miskin ia mengatakan, salah sendiri jadi petani.

Ya, wajar jika miskin. Ia melihat akar masalah kemiskinan itu, ya memilih pekerjaan seperti petani itu. Kalau saya melihat kunci yang membedakan orang yang sukses dan yang tidak selain di etos kerja juga adalah cara kerjanya itu sendiri. Bekerja keras saja tidak cukup. Buktinya penjual mebel keliling, meskipun sudah bekerja keras memanggul dipan berpuluh kilometer, tidak juga kaya, sebab belum tentu dipannya laku.Ia telah bekerja keras, tapi tidak bekerja dengan cerdas dan efektif. Beda dengan pemilik toko mebel yang cerdas.

Cukuplah ia iklan sedikit di surat kabar,maka hampir setengah penduduk kotasurat kabar, ia seolah telah memanggul seluruh isi tokonya melampaui jarak yang ditempuh penjual mebel keliling. Hal yang tidak mungkin dilakukan penjual mebel keliling. Bisakah penjual mebel keliling itu memanggul tujuh dipan sekaligus? Tidak bisa.

Cuma satu yang bisa ia bawa dan ia tawarkan. Bagaimana dengan orang yang ingin beli dipan, tapi tidak suka dengan model dipan yang ia bawa? Jawabannya, ya satu: tidak jadi beli. Jika amati di sekitar kita, masih banyak penduduk negeri ini melakukan kerja-kerja yang tidak efektif dan tidak cerdas. Hampir di banyak lini. Termasuk ruwetnya masalah DPT kemarin adalah akibat dari kerja tidak cerdas pemerintah dalam memantau data penduduk. Sistem pendidikan yang masih kacau balau adalah juga akibat cara kerja yang tidak cerdas.

Ketertinggalan kita dengan negara lain, termasuk dengan tetangga kanan-kiri kita adalah di cara kerja.Kita masih kalah cerdas. Akibatnya, meskipun keringat lebih banyak kita kucurkan tapi kita masih ketinggalan.