Jum'at pagi, 17 April 2009 mendapat undangan untuk pengarahan pengawaas Ujian Nasional. Kegundahan hati seorang guru bernama Robert, memang sangat wajar. Ditengah-tengah persiapan UN yang penuh peluh, lelah dan memakan waktu istirahat seorang guru, justru dihabiskan disekolah bahkan sampai malam. Apalagi kalau bukan belajar bersama murid-murid tersayang. Pun, ditengah persiapan yang mungkin juga tak kenal waktu tukang cetak, para pembuat soal UN, nyatanya ada saja okunum yang mengambil keuntungan dengan membocorkan soal dan kunci UN. Sungguh terlalu....
Kegundahan hati Pak Robert, mengapa kok pengawasan super ketat justru terjadi di sekolah-sekolah pada saat UN digelar. Intinya, ada rasa curiga terhadap sekolah wabil khusus guru. Mengapa?
Pertanyaan itu hanya pantas dijawab oleh para pengambil kebijakan. Saya yakin kalau seorang guru mempunyai jiwa pendidik, tentu ia tidak akan melakukan tindakan yang tercela tersebut. Kecuali ada indikasi pemaksaan dari kepala sekolah atau kepala kanwil yang memasang target harus lulus 100%. Ya, lulus 100% sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan disebuah sekolah.
Padahal sekali lagi Allah saja memaklumi bahwa tidak sumua manusia lolos 100% dalam uji imannya. Masa iya, UN harus lolos 100%, di mana letak kredibilitasnya? Sangat mustahil, kecuali terjadi kongkalikong antara pengawas, pihak sekolah dan pengambil kebijakan. Atau sengaja dibuat sistem agar lolos semuanya
Bisa toh? bisa lewat konversi, mohon tau sama tau antara sekolah dengan pengawas, guru yang nunggu muridnya bergiliran ke tolet untuk memberi tahukan jwabannya. Atau mengumpulkan seluruh murid sepagi mungkin untuk memberikan bocoran. Tetapi mengapa harus demikian?
Oh UN...UN mengapa engkau jebak seluruh sendi jadi gelap mata dan lupa tujuan?
Tenanglah hati nurani, masih banyak guru yang tidak terjebak kok!
No comments:
Post a Comment