Siang itu sepulang sekolah, trio sekawan ini tidak langsung pulang ke rumah. Mereka bermain dulu di area tanggul yang ditumbuhi pepohonan. Bila ada waktu senggang, mereka pasti main ditanggul tersebut. Tanahnya yang cukup luas untuk bermain, sejuk karena pepohannya cukup rimbun, rerumputannya yang hijau dan bisa memandang luas ke arah situ. Sebuah situ yang dibuat oleh pemerintah penjajahan Belanda tahun 1930-an. Kini, situ gintung dijadikan obyek wisata alam yang sering dikunjungi masyarakat. Tiap akhir pekan banyak muda-mudi yang menjadikan daerah pinggiran situ untuk tempat berpacaran. Letaknya yang strategis dipinggiran Jakarta, situ gintung menjadi tujuan dan tempat mojoknya muda-mudi.
"Dijah, besok kamu kan ulang tahun, ya. Mau kubelikan apa? Eh, tapi jangan yang mahal-mahal ya" tanya Kurnia pada Khadijah sambil ngemut es bon-bon.
"aku juga lho, Jah. Aku dah janji beliin kado tempat pensil, kan!" sambung Tiara yang jug sambil ngemut es bon-bon rasa strawberry kesukaannya.
Khadijah tersenyum.
Ia bangun dan berlari menuju bibir tanggul.
"Aku ingin ketemu Abie.......!! teriaknya sambil menengadahkan wajahnya ke atas langit. Agak lama ia memandangi keindahan langit siang itu yang agak mendung.
Khadijah sangat merindukan abienya. Ayah yang tidak pernah dilihatnya sejak lahir. Dahlan, ayahnya khadijah meninggal saat ia di dalam kandungan ibunya usia 8 bulan. Dahlan meninggal karena serangan jantung saat mengajar. Ya, Dahlan seorang guru honor di sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan, SMA Dharma Putra. Kalau lagi membuncah rindunya, khadijah hanya mampu memandangi potret ayahnya yang dipajang didinding kamar. Umminya sengaja memajangnya agar dapat mengobati kerinduan anak semata wayangnya sekaligus kerinduannya juga.
"Dijah, memangnya kamu rindu abie kamu ya?" tanya Kurnia setelah khadijah balik duduk kembali.
"Ya, kamu enak ya masih punya ayah. Jadi bisa bercanda, bisa disayang-sayang" Khadijah menoleh ke Tiara yang asyik ngemut es-nya.
"Tapi, kamu juga punya ummi yang sayang banget sama kamu, kalau aku cuma punya nenek dan kakek" keluh Tiara yang tak kalah menyedihkan karena bapak ibunya telah meninggal. Ya, tiara menjadi yatim piatu. Sering Tiara menangis di pojok kamar neneknya, karena sedih menjadi yatim piatu.
"Enak ya, kalau kita punya bapak dan ibu, pengen banget ngerasain dipeluk bapak" Khadijah berkata sambil memandangi tenangnya air situ. Ada air mata yang hampir jatuh diujung matanya. Setiap kali mengingat abienya, ia hanya bisa menangis.
Ya, udah deh, Jah. Jangan nangis, kita pulang yuk sebentar lagi kan kita ngaji" ajak Kurnia saambil menarik tangan Khadijah dan Tiara.
Ketiganya berjalan beriringan ditanggul situ.
***
"Ummi, abie lagi ngapain ya?" pertanyaan khadijah membuat kening umminya mengernyit. Sambil terus memasukkan es ke dalam termos, umminya tersenyum.
"Sayang, abie mungkin sedang berdoa untuk kita" jelasnya mencoba mencari tahu apa lagi yang akan dikatakan putri cantik jelitanya.
"Dijah kangen sekali, ummi"
"Kalau Dijah kangen, doakan abie setiap habis sholat ya. Insyaalloh Allah pasti mendengar keinginan Dijah" terang ummi sambil menghampiri dan mengelus kepala putrinya. Setiap kali Khadijah mengutarakan kekangenannya, Halimah selalu saja menitikkan air matanya. Abang, begitu ia memanggilnya terlalu cepat pergi. Saat-saat ia sedang benar-benar butuh seseorang yang melindunginnya dengan penuh kasih, karena ia tengah hamil tua. Allah malah mengambilnya begitu saja. Abang tak sempat memberikan tanda dan wasiat sebaris kata pun dari mulutnya. Pagi itu menjadi pagi kelabu.
"Ah...., abang! keluhnya pelan.
"Ummi maafin Dijah ya bikin ummi jadi sedih" khadijah menyadari kalau umminya juga sebenarnya kangen sekali.
"Sayang, abie mungkin sedang berdoa untuk kita" jelasnya mencoba mencari tahu apa lagi yang akan dikatakan putri cantik jelitanya.
"Dijah kangen sekali, ummi"
"Kalau Dijah kangen, doakan abie setiap habis sholat ya. Insyaalloh Allah pasti mendengar keinginan Dijah" terang ummi sambil menghampiri dan mengelus kepala putrinya. Setiap kali Khadijah mengutarakan kekangenannya, Halimah selalu saja menitikkan air matanya. Abang, begitu ia memanggilnya terlalu cepat pergi. Saat-saat ia sedang benar-benar butuh seseorang yang melindunginnya dengan penuh kasih, karena ia tengah hamil tua. Allah malah mengambilnya begitu saja. Abang tak sempat memberikan tanda dan wasiat sebaris kata pun dari mulutnya. Pagi itu menjadi pagi kelabu.
"Ah...., abang! keluhnya pelan.
"Ummi maafin Dijah ya bikin ummi jadi sedih" khadijah menyadari kalau umminya juga sebenarnya kangen sekali.
No comments:
Post a Comment