Idul Adha tahun ini, saya dan keluarga menikmati sepoi angin laut di Marunda. Cukup lama tidak bersilaturrahim dengan orang-orang Marunda Baru. Dulu orang mengenalnya dengan sebutan sarang bango. Lho, kenapa? Kampung-kampung di Jakarta memang sebagian besar dinamai oleh keterkenalan kampung tersebut. Kampung itu disebut sarang bango karena memang sangat banyak bango yang singgah setiap harinya, terutama sore hari. Saat masih kuliah, saya sering mengajak adik-adik untuk menikmati senja di pinggir tambak-tambak, di areal angkatan laut tempat gudang senjata. Setiap menjelangsore bago-bango turun menukik mencari ikan atau sekedar minum dan bercengkrama. Nikmat sekali pemandangan tersebut untuk dilewatkan. Sayang, kini tinggal cerita, gudang senjata angkatan laut itu kin telah banyak berubah fungsi. Tambak-tambak sudah banyak diurug dibangun rusun untuk anggota angkatan laut.
Saat memasuki wilayah sarang bango, kita sudah dihidangkan pergudangan kontainer, sebelah kirinya POM Bensin dan Pos elpiji, sepanjang jalan ang tadinya tambak-tambak kini berubah jadi gedung PLN dan rusun. Di kejauhan sedang dibangun pergudangan konteiner baru. Lenyap sudah pemandangan yang sering saya nikmati di sore hari. Mengapa kita begitu egois ya, sampai-sampai tempat bermain para bango kita rebut juga?
Untuk mengobati kekecewaan, saya mengajak tiga krucil dan neneknya menyambangi rumah pahlawan betawi, bisa jadi leluhur saya, rumah bang Pitung dan masjid Alam di sebelah utara pantai Marunda.
Rumah Bang Pitung
Diperkirakan dibangun sekitar abad ke-20. pemiliknya H. Syafiuddi, seorang pengusaha “sero” yang menurut masyarakat setempat rumahnya pernah dirampok si Pitung. Bentuk rumah ini merupakan salah satu model rumah Betawi pantai/pesisiran. Bentuk panggung untuk menghindari kemungkinan ombak besar Menggulung tepian. (sumber: www.jakarta.go.id)
Sayang, saat saya menyambangi rumah tinggi ini sedang direnovasi. Jadi, sekedar melihat dari luar. Untungnya mandor yang merenovasi berbaik hari membolehkan saya dan keluarga masuk melihat arsitekturnya, meski isinya sudah tidak ada, kosong. Yah, lumayanlah.
Pemandangan sekitar situs bersejarah Marunda
Lingkungan tempat lokasi rumah tinggi si Pitung kini telah cukup rapi. Jalan-jalan kecil menuju rumah pitung kini sudah diconblock. Udara panas memang ciri khas daerah pantai. Kanan kiri jalan sempit itudi apit tambak-tambak yang masih banyak disekitarnya. Di utara ada galangan kapal, ada beberapa kapal yang sedang bersandar baik yang sedang diperbaiki atau sudah sangat tua. Banyak orang-orang yang hobi mancing sedang asyik menunggui pancingnya diumpan ikan. Rumah susun sudah tampak dari kejauhan sebelum sampai di areal tersebut.
Beberapa kelompok mangrove masih tumbuh, meski tidak banyak. Dan, yang paling menarik ternyata masih banyak bangau berterbangan, berkejaran dan menukik mengambil ikan lewat paruhnya. Wah, pemandangan yang sudah lama tidak pernah kulihat ternya ada di area ini. Tidak rugi dong mengunjungi rumah tinggi Marunda.
Suasana lebih sempit terlihat aat masuk ke areal Masjid Al alam. Pemukiman yang padat di kanan-kirinya, masuk gang sempit di apit pagar seng batas pelabuhan dan kanannya sebuah SD Negeri.
Masjid Al Alam
Berdasarkan bentuk, gaya dan bahan bangunannya, masjid ini dibangun sekitar awal abad ke-18. Bangunan asli berukuran 10 x 10 m dengan meng gunakan konstruksi kayu, dinding dan plafonnya terbuat dari bambu, atap ditopang 4 buah tiang kayu (tiang sokoguru). Pada tahun 1989 bangunan masjid diperluas dengan menambah serambi depan dan serambi utara, selain itu juga dibangun tempat wudhu dan toilet pada sisi selatan.
Masjid al alam kini sedang direnovasi pula. Tetap saja banyak orang yang datang berkunjung, bahasa islaminya berziarah. Di samping masjid terdapat sumur tua untuk berwudhu, sementara dibelakang masjid ada makam kramat tempat orang "berziarah". Dan, persis dibelakangnya juga ada komplek pemakaman penduduk.
Saat memasuki wilayah sarang bango, kita sudah dihidangkan pergudangan kontainer, sebelah kirinya POM Bensin dan Pos elpiji, sepanjang jalan ang tadinya tambak-tambak kini berubah jadi gedung PLN dan rusun. Di kejauhan sedang dibangun pergudangan konteiner baru. Lenyap sudah pemandangan yang sering saya nikmati di sore hari. Mengapa kita begitu egois ya, sampai-sampai tempat bermain para bango kita rebut juga?
Untuk mengobati kekecewaan, saya mengajak tiga krucil dan neneknya menyambangi rumah pahlawan betawi, bisa jadi leluhur saya, rumah bang Pitung dan masjid Alam di sebelah utara pantai Marunda.
Rumah Bang Pitung
Diperkirakan dibangun sekitar abad ke-20. pemiliknya H. Syafiuddi, seorang pengusaha “sero” yang menurut masyarakat setempat rumahnya pernah dirampok si Pitung. Bentuk rumah ini merupakan salah satu model rumah Betawi pantai/pesisiran. Bentuk panggung untuk menghindari kemungkinan ombak besar Menggulung tepian. (sumber: www.jakarta.go.id)
Sayang, saat saya menyambangi rumah tinggi ini sedang direnovasi. Jadi, sekedar melihat dari luar. Untungnya mandor yang merenovasi berbaik hari membolehkan saya dan keluarga masuk melihat arsitekturnya, meski isinya sudah tidak ada, kosong. Yah, lumayanlah.
Pemandangan sekitar situs bersejarah Marunda
Lingkungan tempat lokasi rumah tinggi si Pitung kini telah cukup rapi. Jalan-jalan kecil menuju rumah pitung kini sudah diconblock. Udara panas memang ciri khas daerah pantai. Kanan kiri jalan sempit itudi apit tambak-tambak yang masih banyak disekitarnya. Di utara ada galangan kapal, ada beberapa kapal yang sedang bersandar baik yang sedang diperbaiki atau sudah sangat tua. Banyak orang-orang yang hobi mancing sedang asyik menunggui pancingnya diumpan ikan. Rumah susun sudah tampak dari kejauhan sebelum sampai di areal tersebut.
Beberapa kelompok mangrove masih tumbuh, meski tidak banyak. Dan, yang paling menarik ternyata masih banyak bangau berterbangan, berkejaran dan menukik mengambil ikan lewat paruhnya. Wah, pemandangan yang sudah lama tidak pernah kulihat ternya ada di area ini. Tidak rugi dong mengunjungi rumah tinggi Marunda.
Suasana lebih sempit terlihat aat masuk ke areal Masjid Al alam. Pemukiman yang padat di kanan-kirinya, masuk gang sempit di apit pagar seng batas pelabuhan dan kanannya sebuah SD Negeri.
Masjid Al Alam
Berdasarkan bentuk, gaya dan bahan bangunannya, masjid ini dibangun sekitar awal abad ke-18. Bangunan asli berukuran 10 x 10 m dengan meng gunakan konstruksi kayu, dinding dan plafonnya terbuat dari bambu, atap ditopang 4 buah tiang kayu (tiang sokoguru). Pada tahun 1989 bangunan masjid diperluas dengan menambah serambi depan dan serambi utara, selain itu juga dibangun tempat wudhu dan toilet pada sisi selatan.
Masjid al alam kini sedang direnovasi pula. Tetap saja banyak orang yang datang berkunjung, bahasa islaminya berziarah. Di samping masjid terdapat sumur tua untuk berwudhu, sementara dibelakang masjid ada makam kramat tempat orang "berziarah". Dan, persis dibelakangnya juga ada komplek pemakaman penduduk.
1 comment:
Nice Info, keep Posting!!
Post a Comment