Monday, June 09, 2008
Matikan Televisi Anda Sekarang Juga!!!Penting
Televisi menjadi sekolah kedua bagi anak. Sekolah yang berbahaya.
Laksana tamu tak diundang. Siaran televisi datang dan membikin
si buyung atau si upik lekas matang. Ibarat buah mangga yang
dikarbit, para bocah ini dipaksa dewasa sebelum waktunya lewat
ajaran-ajaran pop khas layar kaca: Kawin cerai, selingkuh para
selebritis, atau pacaran di usia dini. Selamat datang di surga
anak-anak pedoyan televisi!
Survei termutakhir UNICEF pada 2007 silam bak dering jam weker
yang pantas membuat orangtua awas. Kata badan PBB itu, para bocah
di Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar
kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka
ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar
mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah kotak
televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Naasnya, jika
diamsalkan sekolah, maka televisi adalah sekolah yang berbahaya.
Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) mengantongi data, hanya 30
persen acara televisi yang aman dikonsumsi anak pada 2006.
‘’Angkanya tak berubah banyak pada 2007,’’ ujar Boby Guntarto,
penggagas Hari Tanpa Televisi dari YPMA, yang siap merilis angka
termutakhir bulan depan.
Disebut sekolah berbahaya lantaran, ya itu tadi, kotak televisi
sesungguhnya dijubeli materi-materi khusus untuk orang dewasa.
Tayangan infotainment menggeruduk di pagi hari tatkala anak
tengah sarapan. Tayangan sinetron tumpah ruah di layar kaca bak
air bah dari sore hingga menjelang tidur.
Walhasil, kata B Guntarto,’’Bocah-bocah zaman sekarang sudah
terbiasa dengan istilah kawin, cerai, atau selingkuh,’’ tutur
dia.
‘’Kata-kata atau perilaku ini semestinya konsumsi orang dewasa.’’
Maka, alangkah malangnya anak-anak (zaman sekarang) ini, kata
psikolog pendidikan dari Lembaga Pendidikan Optima Solo, Niken
Iriani. Keceriaan dan kepolosannya mereka—disadari atau tidak
berpeluang terbang akibat masuknya persoalan orang-orang dewasa
ke dalam otak mereka. Lewat televisi.
Dan, bukannya musykil ‘peluru’ layar kaca ini kelak membetikkan
gangguan psikologis dalam diri sang bocah. Gejala emosional itu
muncul dan membentang di antara dua titik bandul: Dari peniruan
tindak kekerasan hingga—yang kurang ekstrem—pertanyaan-pertanyaan
di luar dugaan.
‘’Pak, bercumbu itu apa?’’ tutur Syifa Kamila, bocah usia 5 tahun,
kepada sang ayah, Muhamad Julianto (32) warga Puri Cipageran,
kota Cimahi, Jawa Barat. Yang ditanya kontan terperanjat tetapi
kemudian tersenyum kecut dan bergumam dalam batin :
Pasti gara-gara televisi!
Usai mengumpat, Julianto sekaligus bertanya: Apa gerangan yang
membikin acara televisi bagaikan tumpukan sampah penebar racun
bagi anak-anak? ‘’Kayak limbah B3 aja,’’ seloroh karyawan bank
swasta itu.
Dewa itu bernama rating.
Ia yang memberi kata putus: Program televisi apa yang mesti
diproduksi, diabaikan, bahkan dilenyapkan sama sekali dari layar
kaca. Dirilis oleh AGB-Nielsen Media Research, rating menunjukkan
seberapa besar penonton sebuah tayangan televisi. Kian tinggi
rating, kian besar peluang program tersebut kebagian kue iklan
yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah itu.
Rating pun mulai menebar sihirnya. Program stasiun televisi yang
ditabalkan AGB-Nielsen memiliki rating tinggi, mulai ditiru
stasiun televisi lainnya. Terjadi duplikasi di sana sini.
Inilah mengapa pelbagai tayangan yang tampak serupa tumplek
di banyak stasiun televisi nasional—yang jumlahnya ada 11 saat
ini. Padahal, dan celakanya,’’Program dengan rating tinggi belum
tentu berkualitas,’’ ujar Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan
Seni Estetika dan Teknologi (SET). Hal itu dikukuhkan oleh hasil
riset yang dihelat yayasan SET bekerjasama dengan 16 lembaga
sepanjang Maret hingga April 2008 lalu. Hasil riset diungkap
Rabu pekan lalu (28/5) di Jakarta.
Riset, ujar Agus, dilakukan dengan metode Peer Review Assessment,
di mana sekelompok orang (220 orang) dengan kapasitas pengetahuan
memadai memberi penilaian kualitatif terhadap 15 acara berating
tinggi versi AGB-Nielsen. Hasilnya? Sebagian besar acara
berating tinggi justru berkualitas ‘jongkok’.
Acara-acara ini dinilai tidak memberi model perilaku yang baik,
bertabur kekerasan dan pornografi, tidak meningkatkan empati
sosial, dan tidak ramah anak. (lihat boks). Padahal acara-acara
‘sampah’ ini bertaburan dan kian mensesaki layar kaca—atas nama
rating dan demi misi memburu iklan. Inilah jawaban atas
pertanyaan Julianto: Mengapa acara televisi kayak limbah B3?
Tak keliru bahwa televisi telah memberi pemeringkatan usia.
Misalnya ‘D’ untuk tayangan konsumsi dewasa, ‘SU’ untuk semua
umur, dan ‘BO’ untuk bimbingan orang tua. Tapi bagi Santi Indra
Astuti, aktivis Media Literarcy Bandung, pembatas ini bagaikan
pagar ilalang yang mudah diterobos anak-anak. Santi tak percaya
itu. Sementara televisi adalah teror subtil yang perlu ditangani
serius.
Kotak elektronik ini jelas menyumbang saham besar bagi
pendangkalan norma-norma di masyarakat. Tren pemakaian rok mini
di kalangan remaja, misalnya, muncul setelah diabsahkan lewat
media elektronik. Televisi juga berperan dalam mengikis kepekaan
masyarakat terhadap banyak hal.
“Dahulu anak-anak takut melihat darah. Lantaran sering melihat di
televisi lantas menjadi biasa, bahkan menjadi hiburan tersendiri,”
tutur ibu dua anak ini.
Di layar kaca, lanjut dia, kehidupan seringkali digambarkan penuh
konflik. Sekolah adalah tempat menakutkan. Guru digambarkan aneh.
Siswa kutu buku dianggap orang aneh. Penggambaran semacam ini
berpengaruh kepada pandangan anak-anak terhadap sekolah.
''Anak menjadi sulit membedakan realitas simbolik dan real,”
ungkapnya.
Salah satu jalan keluar adalah membuat anak menjadi lebih kritis
terhadap tayangan yang dikonsumsi. Caranya, ujar Santi, adalah
dengan membuka ruang diskusi dengan anak saat menonton. Atau:
Matikan televisi Anda!
Agen Perubahan yang Mesti Berubah
Agent of change atau agen perubahan adalah predikat yang kerap
ditabalkan kepada media massa, termasuk kotak televisi. Sebelum
berharap terlampau jauh, bertanyalah: Bagaimana sih kualitas
tayangan televisi di negeri ini, secara umum? Para responden
ini tak memberi acungan jempol. Sebagian besar memberi nilai
‘biasa saja’ untuk program-program acara yang berseliweran di
kotak televisi—sang agen perubahan itu Apa televisi menambah
pengetahuan? Biasa saja. Apa meningkatkan empati sosial? Biasa
saja. Apa meningkatkan daya kritis? Biasa saja. Apa memberi
informasi untuk pengawasan? Biasa saja. Apa memberi model
perilaku yang baik? Biasa saja.
Penilaian Kualitas Program Acara Televisi Secara Umum
0,5 persen : sangat baik
27,2 persen : baik
41,9 persen : biasa saja
24,6 persen : buruk
4,2 persen : sangat buruk
1,6 persen : tidak tahu
Hiburan Berbahaya Acara
Hiburan adalah tayangan yang paling digandrungi anak-anak dan
dinilai paling aman dinikmati si buyung dan si upik. Tetapi
riset yang digelar oleh yayasan SET mengungkap paradoks.
(lihat angka)
80,1 persen responden menyatakan bahwa tayangan hiburan di
televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton
oleh anak-anak.
68,6 persen responden menyatakan tayangan hiburan di televisi
buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik
kepada pemirsanya.
50,8 persen responden menyatakan bahwa program hiburan di
televisi amat buruk/buruk dalam meningkatkan empati sosial,
yakni memberi kesadaran untuk peduli terhadap orang lain.
70,7 persen responden menyebut program hiburan di televisi
menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan
dalam kehidupan masyarakat.
(mg13/mg14/mg20/vie/nri/imy )
Republika Online: Minggu, 08 Juni 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Pendidikan di Indonesia sekarang sedang terpuruk dengan sedikitnya subsidi pendidikan yang berakibat pada kesejahterahan siswa dan guru.
Dimana siswa tidak mendapatkan sarana dan prasarana yang layak sehingga kegiatan pembelajaran berjalan tidak baik. Dan guru bantu dan honorer hanya mendapatkan sedikit gaji yang menyebabkan mereka kurang fokus kepada pekerjaannya.
Oiya, pasang widget infogue.com seperti di blog-gue.
http://pendidikan.infogue.com/matikan_televisi_anda_sekarang_juga_penting
Memang sudah saatnya membatasi diri, agar tidak menjadikan TV sebagai sembahan baru. Lama-lama, TV jadi agama baru yang diagungkan banyak orang... :D Apalagi ketika anak-anak sudah diasuh oleh TV sejak masih kecil...
Post a Comment