Dalam sebuah obrolah pernah terlontar pengalaman rekan di MIMHa (Madrasah Ibtidaiyah Interaktif Miftahul Huda) tentang sebuah sekolah yang menyiapkan anaknya agar lulus UASBN dengan mencecar anak kelas 6 nya latihan soal dari pagi sampai sore sehingga ada anak kelas 6 yang malang ini tidak mau sekolah karena merasa tertekan.
Kasus yang lain adalah dalam penerimaan anak kelas 1 yang hanya bisa diterima kalau dia sudah dapat baca tulis kalau ingin diterima disekolah “favorit’ menurut orang dewasa disekitarnya sehingga masa taman kanak-kanak menjadi masa tekanan pembelajaran untuk mereka.
Standar UASBN bagi sekolah dasar yang bisa dinaik turunkan oleh yang punya kebijakan tanpa menstandarkan terlebih dahulu pendukung dari output (baca nilai pelajaran) sekolah sehingga anak-anak kita yang memiliki keterbatasan pada sebagaian pelajaran semakin tertekan sebagai anak yang dicap BODOH dengan keterbatasannya dalam mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dan sains padahal bisa jadi “ketidakmampuan” mereka karena pola pengajarannya yang tidak cocok dengan gaya belajarnya. Perasaan tertekan ini semakin diperkuat lagi dengan kecemasan orang tua agar anaknya “sukses” dengan memaksa anaknya ikut bimbel padahal mereka sudah cukup tertekan disekolah dengan berbagai program “tim sukses UASBN/UAN”.
Sempat terpikirkan oleh saya tidakkah cukup rasa stress yang dimiki oleh 1 dari 5 orang dewasa Indonesia ini tidak kita tularkan pada anak-anak kita. Ataukah kita merasa bahagia sebagai orang dewasa bila anak-anak kita ikut stress seperti kita orang dewasa disekitarnya dimanakah nurani kita sebagai orang dewasa disekitar mereka.
SEKOLAH “BAGUS” SEKOLAH YANG BIKIN ANAKNYA STRES?
Mendapati fenomena ini bahkan seorang rekan di MIMHa sampai berseloroh dengan mengatakan bahwa untuk menjadi sekolah yang dianggap “bagus” atau “favorit” atau apatah lagi istilah lainnya oleh orang tua dan pasar pendidikan sekarang sekolah tersebut harus membuat anaknya stress belajar sehingga ada anaknya tidak mau sekolah karena merasa tertekan.
Ironi memang ketika pendidikan diberikan kepada persepsi masyarakat yang menilai keberhasilan dan kesuksesan anak apabila anak menjadi stres dan sesibuk seperti orang tuanya karena tekanan hidup. Hal ini tentu akan semakin menjadikan sekolah menjadi tempat yang tidak ramah untuk anak didiknya bahkan sekolah telah melakukan “kekerasan” untuk anak didiknya.
RAMAH TIDAK SAMA DENGAN MALAS
Persepsi kita bisa jadi sekolah tanpa PR merupakan sekolah malas, padahal sekolah tanpa PR bisa jadi menginginkan kesempatan anak dirumah adalah suasana yang bisa digunakan orang tua untuk membangun hubungan mereka tanpa mereka harus terganggu dengan tugas sekolah yang sebenarnya bisa diselesaikan disekolah saja tanpa perlu dibawa kerumah. Adapun proses pengulangan pelajaran sejatinya bisa dilakukan dalam nuansa pendekatan orang tua dan anak bukan nuansa murid dan guru.
Persepsi kita bisa juga mengatakan sekolah yang anaknya bermain dalam pembelajarannya diangggap tidak disiplin. Padahal dalam permainan meraka sedang belajar dan sedang mengaplikasikan apa yang mereka pelajari.
Berbagai persepsi ini kuat tertanam sehingga sekolah yang berusaha lebih ramah menjadi sekolah yang dianggap menjadikan anak didiknya menjadi tidak displin setidaknya inilh persepsi yang kami terima di MIMHa. Dalam persepsi kami “Ramah” dalam sebuah sekolah yang membahagiakan terdiri dari 4 hal:
a. Ramah Psikologis
b. Ramah Pembelajaran
c. Ramah Potensi kecerdasan
d. Ramah Karakter
Ramah terhadap psikologis anak menyangkut pada aspek afektif dalam hal ini penerimaan seluruh warga sekolah baik itu murid, guru, manajemen sekolah, penjaga sekolah dan orang tua merupakan modal sekolah sebagai tempat yang menyenangkan sehingga anak kecil kemungkinan mengalami luka secara psikologis karena semua pihak dalam sekolah menjadi pihak yang ramah terhadap perkembangan psikologis anak. Ramah Pembelajaran, menjadikan anak terlibat dalam proses pembelajaran merasa terlibat dalam proses belajar karena apa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang bisa mereka lakukan dan langsung merubah prilaku mereka inilah pembelajaran yang sesuai dengan konteks lingkungan anak tidak melangit tanpa anak tahu hakikat dan apa yang harus mereka lakukan setelah belajar usai. Ramah Potensi Kecerdasan, tidak ada kata bodoh pada sekolah ini yang terbangun adalah sekolah yang berpandangan seperti Nabi Khadir saat berkata kepada Musa, wahai Musa aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui
dan engkau Musa mengetahui apa yang tidak aku ketahui, subhanallah tidak lagi anak yang tidak menerima dengan potensi dan keberadaan dirinya anak-anak dalam lingkungan seperti ini menjadi anak yang bersyukur dengan apa yang Allah berikan kepada mereka. Ramah karakter, salah satu hal yang perlu kita akui adalah bangsa ini tidak kurang ribuan sarjana tercetak setiap tahunnya dinegeri ini tapi lihat karakter bangsa ini tidak menunjukan sebagi bangsa yang bernilai karena sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif bisa kita lihat dari UAS pada sekolah menengah dan UASBN pada SD/MI sekarang, dimanakah pengajaran karakter bangsa kita yang ramah, jujur, tanggung jawab, penuh senyum bisa kita wariskan untuk anak-anak penerus bangsa ini padahal hal inilah yang akan membentuk karakter bangsa kita.
Akhir kata coretan ini merupkan sebuah luapan pemikiran dimana tentu bukan sebuah catatan tanpa kekurangan, berbagai belenggu pemikiran, baik literatur dan pengalaman kadang menjadikan sebuah tulisan terasa sudah sempurna bagi penulisnya, tapi sejatinya ini hanyalah sebuah ide dan gagasan dan usaha kami untuk mewujudkan sebuah mimpi tentang sekolah yang lebih ramah bagi para pembelajar didalamnya sebuah mimpi yang coba kami wujudkan di dalam komunitas pembelajar MIMHa. Agar anak-anak didik ini kedepan merasakan betapa kita sebagai orang dewasa disekitarnya lebih ramah dengan keberadaan mereka sebagi makhluk yang Allah titipkan kepada kita. Wallahu a’lam bishshawab (Agus Awaludin : dari milis : gurutendik@yahoogroups.com)
No comments:
Post a Comment