oleh Irfan Anshory
Sampai awal abad ke-20 kalender Hijriah masih dipakai oleh
kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahkan Raja Karangasem,
Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam
surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan
arikh 1313 Hijriah (1894 Masehi). Kalender Masehi baru
ecara resmi dipakai di seluruh Indonesia mulai tahun
1910 dengan berlakunya Wet op het Nederlandsch
Onderdaanschap, hukum yang menyeragamkan seluruh rakyat
Hindia Belanda.
Jenis kalender
Ada tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia
penghuni planet ini.
Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari)
yang waktu satu tahunnya adalah lamanya bumi mengelilingi
matahari yaitu 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik atau
365,2422 hari.
Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), yang
waktu satu tahunnya adalah dua belas kali lamanya bulan
mengelilingi bumi, yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik
(29,5306 hari = 1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354
hari 8 jam 48 menit 34 detik atau 354,3672 hari.
Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang
disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender lunar
dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar,
maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan
tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali
sesuai dengan perjalanan matahari.
Kalender Masehi, Iran, dan Jepang merupakan kalender solar,
sedangkan kalender Hijriah dan Jawa merupakan kalender
lunar. Adapun contoh kalender lunisolar adalah kalender
Imlek, Saka, Buddha, dan Yahudi.
Semua kalender tidak ada yang sempurna, sebab jumlah hari
dalam setahun tidak bulat. Untuk memperkecil kesalahan,
harus ada tahun-tahun tertentu menurut perjanjian yang
dibuat sehari lebih panjang (tahun kabisat atau leap
year).
Pada kalender solar, pergantian hari berlangsung tengah
malam (midnight) dan awal setiap bulan (tanggal satu)
tidak tergantung pada posisi bulan. Adapun pada kalender
lunar dan lunisolar pergantian hari terjadi ketika
matahari terbenam (sunset) dan awal setiap bulan adalah
saat konjungsi (Imlek, Saka, dan Buddha) atau saat
munculnya hilal (Hijriah, Jawa, dan Yahudi). Oleh karena
awal bulan kalender Imlek dan Saka adalah akhir bulan
kalender Hijriah, tanggal kalender Imlek dan Saka umumnya
sehari lebih dahulu dari tanggal kalender Hijriah.
Arab Pra-Islam
Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad
s.a.w., masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu
kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari.
Tahun baru (Ra's as-Sanah = "Kepala Tahun") selalu
berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar
September. Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada
bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia
sepakat untuk mengharamkan peperangan.
Pada bulan Oktober daun-daun menguning sehingga bulan itu
dinamai Shafar ("kuning"). Bulan November dan Desember
pada musim gugur (rabi') berturut-turut dinamai
Rabi'ul-Awwal dan Rabi'ul-Akhir.
Januari dan Februari adalah musim dingin
(jumad atau "beku") sehingga dinamai Jumadil-Awwal
dan Jumadil-Akhir. Kemudian salju mencair
(rajab) pada bulan Maret.
Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya'ban
(syi'b = lembah), saat turun ke lembah-lembah untuk
mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada
bulan Mei suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat
pada bulan Juni. Itulah bulan Ramadhan ("pembakaran")
dan Syawwal ("peningkatan"). Bulan Juli merupakan puncak
musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat
duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini
dinamai Dzul-Qa'dah (qa'id = duduk).
Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah, sebab pada bulan
itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek
moyang mereka, Nabi Ibrahim a.s.
Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-
seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun,
11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya
365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari
dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur,
maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun
yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari).
Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi'
yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzul-Hijjah.
Ternyata tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia
sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai
bulan nasi'. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan
bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma
12 bulan. Lebih celaka lagi jika suatu kaum memerangi
kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk
berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan
nasi', belum masuk Muharram, menurut kalender mereka.
Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak
menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab.
Pemurnian kalender "lunar"
Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu
di bawah pimpinan Nabi Muhammad s.a.w., maka turunlah
perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar
yang murni dengan menghilangkan bulan nasi'. Hal ini
tercantum dalam kitab suci Al-Qur'an Surat At-Taubah
ayat 36 dan 37.
Dengan turunnya wahyu Allah di atas, Nabi Muhammad s.a.w.
mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi
bergantung kepada perjalanan matahari. Meskipun nama-nama
bulan dari Muharram sampai Dzul-Hijjah tetap
digunakan karena sudah populer pemakaiannya, bulan-bulan
tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim,
sehingga Ramadhan ("pembakaran") tidak selalu pada musim
panas dan Jumadil-Awwal ("beku pertama") tidak selalu
pada musim dingin.
Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini disebabkan
agama Islam bukanlah untuk masyarakat Arab di Timur Tengah
saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai
penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya
berbeda-beda. Sangatlah tidak adil jika misalnya Ramadhan
(bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem
kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan
masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di
musim panas atau selalu di musim dingin.
Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni,
masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa
18 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat
sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah
haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah
di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya
udara Mekah di musim dingin.
Perhitungan Tahun Hijriah
Pada masa Nabi Muhammad s.a.w. penyebutan tahun
berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada
tahun tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad s.a.w.
lahir tanggal 12 Rabi'ul-Awwal Tahun Gajah ('Am al-Fil),
sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah, Raja Abrahah
dari Yaman berniat menyerang Ka'bah.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. wafat tahun 632, kekuasaan
Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi pada masa
Khalifah Umar bin Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas
dari Mesir sampai Persia.
Pada tahun 638, Gubernur Irak Abu Musa al-Asy'ari
berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang
isinya antara lain: "Surat-surat kita memiliki tanggal
dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat
Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun."
Khalifah Umar bin Khattab menyetujui usul gubernurnya ini.
Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri
dengan anggota enam Sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf,
Sa'ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair
bin Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun
atu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka
tahun. Ada yang mengusulkan perhitungan dari tahun
kelahiran Nabi ('Am al-Fil, 571 M), dan ada pula yang
mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama
('Am al-Bi'tsah, 610 M). Tetapi akhirnya yang disepakati
panitia adalah usul dari Ali bin Abi Thalib, yaitu
tahun berhijrahnya kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah
('Am al-Hijrah, 622 M).
Ali bin Abi Thalib mengemukakan tiga argumentasi.
Pertama, dalam Al-Quran sangat banyak penghargaan Allah
bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru).
Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah.
Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan
selalu memiliki semangat hijriah, yaitu jiwa dinamis
yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin
berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.
Maka Khalifah Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan
bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak
saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriah.
Tanggal 1 Muharram 1 Hijriah bertepatan dengan
16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun
keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung
ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriah.
Dokumen tertulis ber-tarikh Hijriah yang paling awal
(mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat
Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah
Umar bin Khattab kepada seluruh penduduk Kota Aelia
(Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam
dari penjajahan Romawi.
Sistem Kalender Hijriah
Dari Muharram sampai Dzul-Hijjah, setiap bulan 30 atau
29 hari sehingga 354 hari setahun. Dalam setiap siklus
30 tahun, 11 tahun adalah kabisat (Dzul-Hijjah dijadikan
30 hari), yaitu tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16,
18, 21, 24, 26 dan 29. Pada tanggal 31 Januari 2006,
kita memulai tahun baru 1 Muharram 1427 Hijriah,
tahun ke-17 dalam siklus 1411-1440.
Oleh karena peredaran bulan adalah sesuatu yang eksak,
maka awal puasa dan Idul Fitri pada masa mendatang
sudah dapat kita hitung secara ilmiah! Kita
akan memulai ibadah puasa Ramadhan tanggal
24 September 2006 dan merayakan Idul Fitri tanggal
23 Oktober 2006. Selanjutnya kita akan berpuasa
Ramadhan lagi mulai tanggal 13 September 2007,
lalu berlebaran pada tanggal 13 Oktober 2007.
Setiap 32 atau 33 tahun, dalam satu tahun Masehi
terjadi dua kali Idul Fitri (awal Januari dan akhir
Desember) seperti pada tahun 2000 yang lalu. Idul
Fitri berdekatan dengan Tahun Baru Masehi. Fenomena
ini pernah terjadi pada tahun 1870, 1903, 1935, 1968,
dan akan berlangsung lagi tahun 2033, 2065, 2098,
2130, dan seterusnya.
`Konversi tahun Hijriah ke tahun Masehi atau
sebaliknya dapat dilakukan dengan memakai rumus:
M = 32/33 H + 622
H = 33/32 ( M - 622 )
Kalender Hijriah setiap tahun 11 hari lebih cepat
dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun
dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil.
Angka tahun Hijriah pelan-pelan 'mengejar' angka
tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya
akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan
dengan tahun 20526 Hijriah. Saat itu kita entah
sudah berada di mana. "Perhatikanlah waktu!
Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian…"
demikian pesan suci Al-Quran.
Kalender Hijriah Solar
Ditinjau dari hubungan terhadap kalender Hijriah,
kalender Jawa berkebalikan dengan kalender Iran
(Persia). Jika di Jawa kalender mengikuti Hijriah
tetapi angka tahun tidak berubah, maka di Iran
kalender tidak berubah tetapi angka tahun dihitung
dari hijrah Nabi.
Jadi kalender Iran adalah kalender Hijriah Solar
kalender Hijriah dengan perhitungan matahari).
Selain berlaku di Iran, kalender ini juga dipakai di
Afganistan dan Tajikistan sebagai sesama rumpun bangsa
Persia.
Kalender Iran diciptakan Raja Cyrus tahun 530 SM,
dan dibuat lebih akurat pada awal abad ke-12 oleh
ahli matematika dan astronomi yang juga sastrawan,
Umar Khayyam (1050-1122). Tahun baru (Nawruz) selalu
jatuh pada awal musim semi. Nama-nama bulan adalah
Farwardin, Ordibehest, Khordad, Tir, Mordad,
Shahriwar, Mehr, Aban, Azar, Dey, Bahman, Esfand.
Enam bulan pertama 31 hari dan lima bulan berikutnya
30 hari. Bulan terakhir, Esfand, 29 hari (tahun biasa)
atau 30 hari (tahun kabisat yang empat tahun sekali).
Dibandingkan dengan kalender solar yang lain, kalender
Iran paling cocok dengan musim. Tanggal 1 Farwardin
selalu 21 Maret (awal musim semi), tanggal 1 Tir selalu
22 Juni (awal musim panas), tanggal 1 Mehr selalu 23
September (awal musim gugur), dan tanggal 1 Dey selalu
22 Desember (awal musim dingin).
Setelah bangsa Iran memeluk agama Islam, tahun hijrah
Nabi (622 M) dijadikan Tahun Satu, tetapi kalender
tetap berdasarkan matahari.
Tahun baru tanggal 1 Farwardin 1385 Hijriah Solar
jatuh pada 21 Maret 2006.
Khatimah
Sebagai penutup uraian, penulis artikel ini mengimbau
agar umat Islam membiasakan penggunaan tarikh Hijriah
di samping tarikh Masehi) dalam catatan harian,
surat-surat, hari lahir anggota keluarga, dan
sebagainya. Banyak di antara kita yang mungkin belum
tahu bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa dan negara
Republik Indonesia berlangsung pada hari Jumat tanggal
9 Ramadhan 1364 Hijriah atau 9 Ramelan (Pasa) Ehe 1876
atau 26 Mordad 1324 Hijriah Solar, yang bertepatan
dengan tanggal 17 Agustus 1945 Masehi.***
Penulis, Direktur "Ganesha Operation" Bandung.
--
Ismail Fahmi
Information Science & University Library University of Groningen, The
Netherlands
No comments:
Post a Comment