Dalam perjalanan pulang dari Lebak Bulus, Selatannya Jakarta sekitar pukul 23.00, aku menelusuri jalanan rusak sepanjang Cinere yang baru saja di tambal. Berjalan santai sambil menikmati udara malam, merenungi perjalanan hidup yang sudah kujalani. Sepuluh tahun sudah, baru kali ini mengalami perasaan aneh. I’m Falling In Love, pada “gadis” yang masih sangat belia untuk ukuran usia. Aneh benar rasanya.
Terus saja kususuri jejaknya, namun tetap saja keanehan dan keterasingan yang kutemukan. Di jejak-jejak yang ditinggalkannya, belum kutemukan hatinya. Gadis belia itu terus saja menggangguku. Sebab dia ada dibalik bilik hatiku, menggelayuti perjalanan sepuluh tahunku.
Setelah satu dasawarsa mengarungi sebuah lautan, setetes pun belum kurasakan betapa nikmatnya, bergumul dengannya dalam melewati hari-hari, detik-detik dengan “cinta”nya. Gadis belia itu selalu hadir dalam setiap nafasku, tapi tak kurasakan kehangatannya. Padahal orang-orang bilang, gadis belia itu sangat mulia dan menjadi rebutan bagi yang menyadarinya.
Bahwa kehadirannya diperlukan banyak orang, seperti sabda Nabi, orang yang memiliki gadis belia ini akan masuk dalam golongan pertama yang masuk ke syurga. Tapi tetap saja belum atau mungkin butuh proses panjang seiring perjalananku hampir mendekat ashar.
Kau mau tahu siapa gadis belia itu? Jiwa guru! Dialah yang sedang membuatku kasmaran tak kepayang. Satu dasa warsa berprofesi sebagai guru, namun belum kutemukan “jiwa”nya. Aku belum bekerja dengan hati. Atau mungkin karena pengaruh kapitalisme yang berorientasi pada materi, sehingga belum menyentuh hati dalam bekerja. Ya, bekerja dengan hati…….belum kulakukan. Pohon yang kutanam sejak sepuluh tahun lalu memang tumbuh lebat dan berbuah, tapi masam rasanya. Sedikitpun tak ada rasa manisnya. Idealisme terkubur di kebun syurga, tapi yang kurasakan malah api neraka…….
Aku iri pada orang-orang yang jatuh cinta dikedalaman hatinya yang penuh keikhlasan. Tanpa berharap syurga, berharap sanjungan, seperti orang-orang yang tertulis di novel Laskar Pelangi. Sekali hidup sudah itu mati. Mati dalam taman firdaus yang hatinya damai, bukan karena berlimpah materi dan pujian, tapi menanam hatinya dengan keikhlasan berbagi.
Meruyung, menjelang subuh.
No comments:
Post a Comment