Monday, March 15, 2010

SAMPAH ANTARIKSA


SAMPAH ANTARIKSA MAKIN PADAT MENYESAKKAN, WASPADAI BAHAYANYA TAHUN 2012

Bila cuaca cerah, sesudah maghrib sampai sekitar isya atau sesudah shubuh sampai menjelang matahari terbit sempatkanlah mengamati langit. Mungkin kita beruntung bisa menyaksikan satelit yang mengorbit bumi yang terlihat seperti bintang berpindah. Satelit tersebut tampak cemerlang sekitar senja atau fajar karena memantulkan cahaya matahari yang tidak terlalu jauh dari kakai langit. Bila ingin lebih pasti melihatnya, silakan rencanakan pengamatan setelah melihat prakiraan satelit yang akan tampak dari suatu lokasi pada situs http://www.heavens- above.com. Mengamati satelit dapat menjadi hobi menyenangkan. Apalagi benda antariksa akan semakin banyak.

Sejak tahun 1957 terdapat 6.000 satelit diluncurkan ke ruang angkasa dan 3338 satelit masih beroperasi dan tidak aktif lagi. Sebanyak 1820 badan roket yang tidak berfungsi lagi dan 7789 serpihan logam mengitari Bumi. Tabrakan antar satelit dan roket-lah penyumbang terbesar sampah antariksa. Pecahan yang terbentuk dikelompokkan dalam berbagai ukuran yaitu lebih kecil dari 0,1 mm, antara 0,1 mm – 1 cm dan antara 1 – 10 cm. Ukuran yang kecil tersebut tidak bisa dideteksi oleh radar dan jumlahnya mencapai puluhan juta.

Berdasarkan ketinggian orbit, wahana antariksa pengorbit Bumi (satelit buatan) dikelompokkan menjadi 4 yaitu dibawah ketinggian 5.500 km atau orbit rendah (Low Earth Orbit / LEO). Bila satelit di orbit ini habis masa pakainya atau mengalami kerusakan maka akan segera jatuh ke Bumi atau terbakar dan pecah akibat bergesekan dengan atmosfer. Hingga kini, bobot total wahana antariksa di LEO lebih dari 2.000 ton. Dan sebagian besar adalah sampah. Prosentase satelit aktif hanya 5 %. Namun, jumlah sampah antariksa terus meningkat.

Jenis kedua adalah orbit menengah (Medium Earth Orbit / MEO) pada rentang ketinggian 5.500 – 36.000 km. Jenis ketiga adalah orbit geosinkron (Geosynchronous Earth Orbit / GEO) pada ketinggian 36.000 km. Satelit di orbit ini memiliki periode orbit sama dengan periode rotasi Bumi yaitu 24 jam. Dan bisa berada pada titik stasioner bila kemiringan terhadap ekuator (dinamakan sudut inklinasi) sebesar 0 derajat. Karenanya dinamakan Orbit Geosationer (GSO). GEO merupakan lokasi istimewa penempatan satelit dikarenakan kestabilan posisi satelit dengan sedikit bahan baker sehingga menjadi rebutan banyak negara untuk menempatkan satelitnya.

Antariksa Indonesia yang berada di khatulistiwa merupakan GEO. Hal ini patut disyukuri. Namun disini lain, patut diwaspadai kemungkinan jatuhnya sampah di wilayah khatulistiwa. Jenis keempat adalah orbit transfer yaitu orbit yang mengantarkan satelit dari LEO ke GEO atau orbit nontransfer sangat lonjong yang menjelajahi dari LEO sampai GEO. Bila satelit di orbit MEO atau GEO telah habis masa tugasnya dan menjadi sampah maka akan melayang, dan terus turun ke orbit rendah selanjutnya masuk ke atmosfer.

Secara umum benda antariksa buatan manusia dapat dikelompokkan dalam empat jenis orbit. Terbanyak berada pada orbit rendah (LEO = Low Earth Orbit) dengan ketinggian kurang dari 5500 km yang periode orbitnya kurang dari 225 menit. Batasan 5500 km adalah batas kemampuan radar rata-rata untuk mendeteksi objek berukuran 10 cm. Satelit eksperimen ilmiah dan satelit penginderaan jauh umumnya berada pada orbit rendah, terutama pada ketinggian 500 – 2.000 km. Terbanyak ke dua berada pada orbit geosinkron (GEO = Geosynchronous Earth Orbit) pada ketinggian 36.000 km yang periode orbitnya sama dengan 24 jam. Satelit telekomunikasi dan pengamat cuaca umumnya berada pada orbit ini. Satelit GEO dengan inklinasi (kemiringan terhadap bidang ekuator) 0 derajat dan dikontrol terus (seperti pada satelit telekomunikasi) bisa berada pada titik stasioner, sehingga orbitnya disebut Orbit Geosationer (GSO).

Orbit menengah (5.500 – 36.000 km) disebut MEO (Medium Earth Orbit). Sistem satelit navigasi milik Amerika Serikat, GPS (Global Positioning System) dan milik Rusia, GLONASS (Global Navigation Satellite System) menempati orbit menengah ini, sekitar 18.000 – 20.000 km. Jenis orbit lainnya adalah orbit transfer yang mengantarkan satelit dari LEO ke GEO/GSO atau orbit non-transfer yang sangat lonjong yang mungkin menjelajahi dari LEO sampai GEO. Roket-roket peluncur satelit komunikasi banyak yang masih berada pada orbit ini.

Sampai akhir Maret 2004, di antariksa masih terdapat 9.236 benda yang mengorbit bumi yang terdeteksi radar pemantau antariksa. Dari jumlah itu 2.988 berupa satelit, baik yang masih berfungsi maupun tidak berfungsi lagi. Selebihnya 6.248 adalah sampah, berupa badan roket atau pecahan satelit atau roket. Sebenarnya, satelit yang tidak berfungsi lagi dapat digolongkan sebagai sampah juga. Hanya saja dari pemantauan radar tidak mungkin membedakan satelit yang masih berfunsi dan yang telah mati. Jadi sebenarnya jumlah sampah antariksa mendominasi wilayah orbit satelit. Sampah antariksa semakin padat. Amerika Serikat dan Negara-negara bekas Uni Sovyet merupakan pemilik terbesar benda antariksa tersebut.

Kondisi Antariksa

Sampai penghujung abad 20 benda antariksa buatan manusia di orbit rendah (ketinggian kurang dari 2000 km) mencapai sekitar 2.000 ton. Sebagian besar berupa ribuan roket bekas dan satelit bekas. Namun, jumlah yang dapat dideteksi oleh jaringan radar (ukuran lebih dari 10 cm) hanya sekitar 9.000 objek. Sampai April 2003 jumlah yang terdeteksi radar mencapai 9.067. Namun pada akhir Maret 2004 tercatat 9.237 benda antariksa yang mengorbit bumi, meningkat sekitar 2% pertahun. Dari jumlah itu, sekitar 95% dapat digolongkan sebagai sampah antariksa. Satelit aktif hanya sekitar 5%.

Objek-objek tersebut mengorbit bumi sambil saling berpapasan dengan kecepatan relatif rata-rata 10 km/detik (36.000 km/jam). Sekali bertabrakan, akan hancur menjadi kepingan yang lebih kecil. Satelit pecah atau meledak juga menjadi sumber sampah antariksa kecil. Pada tahun 1960-an jumlah satelit pecah hanya sekitar 1 satelit per tahun. Tetapi sejak 1980-an rata-rata ada 5 satelit pecah per tahun. Sebuah roket pecah bisa menghasilkan lebih dari 200 potong sampah. Tidak heran bila jumlahnya makin bertambah dan makin membahayakan wahana antariksa. Pecahan-pecahan sangat kecil (kurang dari 10 cm) yang membahayakan satelit aktif jumlahnya tidak terhitung (diperkirakan lebih dari 35 juta potongan) karena tidak terdeteksi oleh jaringan radar saat ini.

Untuk mengkajinya, beberapa satelit sengaja dibiarkan terpapar oleh sampah antariksa halus yang mengenainya. Misalnya satelit Solar Max, LDEF (the Long Duration Exposure Facility, satelit khusus untuk menerima tumbukan jangka panjang), Eureca (European Retrievable Carrier), dan teleskop antariksa Hubble. Jumlah tumbukan dan ukurannya kemudian diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah dan kecepatan sampah antariksa berukuran kecil ini cukup siginifikan dan bisa membahayakan pesawat antariksa.

Sampah antariksa berukuran sangat kecil (kurang dari 0,1 mm) jumlahnya makin banyak. Walau pun bahayanya tidak langsung, namun untuk jangka panjang sampah halus ini berdampak negatif bagi satelit aktif. Sampah berukuran 0,01 – 1 cm berdampak serius, terutama pada bagian bagian yang sensitif. Sampah yang paling berbahaya adalah yang berukuran lebih dari 1 cm yang langsung dapat merusakkan satelit. Namun sampai saat ini baru ada satu kasus tertabraknya satelit oleh sampah antariksa besar yang kerusakannya cukup serius, yaitu satelit mikro. Kasus kerusakan lainnya dialami pesawat ulang alik Chalenger 1983 yang kaca pelindungnya harus diganti gara-gara ada serpihan cat yang menabraknya. Ukurannya memang kecil, hanya 0,3 mm, tetapi kecepatannya diperkirakan sangat tinggi, sekitar 14.000 km/jam. Antena teleskop antariksa Hubble juga mengalami kerusakan akibat tumbukan sampah antariksa hingga menimbulkan lubang berukuran 1,9 cm x 1,7 cm.

Masa Tinggal di Antariksa

Masalah sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi. Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat akan jatuh ke permukaan bumi. Satelit GEO bisa bertahan berjuta-juta tahun. Satelit pada orbit 400 – 900 km mungkin bisa bertahan beberapa tahun sampai ratusan tahun, tergantung ukuran satelit. Sedangkan untuk orbit kurang dari 400 km hanya bertahan beberapa bulan saja. Pada ketinggian kurang dari 200 km waktu jatuh hanya dalam hitungan beberapa puluh jam. Bentuk orbit juga berpengaruh. Orbit lingkaran lebih mampu bertahan lama dari pada orbit elips.

Masa hidup atau lamanya satelit atau sampah antariksa bertahan di orbitnya sangat tergantung pada hambatan atmosfer. Semakin rendah ketinggian satelit hambatan atmosfer semakin besar karena semakin rapat. Kerapatan atmosfer juga dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Peningkatan aktivitas matahari dapat menyebabkan kerapatan atmosfer meningkat dan hambatan terhadap satelit juga meningkat.

Pada saat aktivitas matahari lemah, satelit atau sampah antariksa pada ketinggian 600 km dapat bertahan puluhan tahun. Namun, pada saat matahari aktif satelit atau sampah antariksa tersebut hanya mampu bertahan sekitar 1 tahun. Itulah sebabnya pada saat matahari aktif, sekitar 1979 – 1981, 1989 – 1991, dan 2000 posisi satelit harus selalu dikontrol. Prakiraan aktivitas matahari juga penting untuk menentukan masa hidup satelit. Jatuhnya Skylab tahun 1979 sangat dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas matahari yang melebihi perkiraan semula.

Masa hidup satelit GEO/GSO bergantung pada bahan bakar pengendalinya agar tetap berada pada posisi operasionalnya. Efek gravitasi bumi, bulan, dan matahari menyebabkan satelit GEO berpindah tempat. Agar tetap berfungsi, maka satelit tersebut harus dijaga posisinya dengan roket kendali. Tetapi satelit pada ketinggian sekitar 36.000 tersebut tidak mungkin jatuh. Bila tidak berfungsi lagi satelit atau sampah antariksa tetap mengorbit membentuk angka delapan di sekitar titik ekuator.

Potensi Bahaya

Satelit atau sampah antariksa jatuh ke bumi akan semakin banyak dengan makin bertambahnya populasi antariksa oleh wahana buatan manusia. Pertambahan juga dipacu oleh saling bertabrakan antar-sampah antariksa tersebut. Data pantauan jaringan radar menunjukkan, rata-rata setiap 2 – 3 hari ada bekas satelit, roket, atau sampah antariksa lainnya yang jatuh ke bumi. Benda berukuran besar, berbobot beberapa puluh ton rata-rata 2 pekan sekali ada yang jatuh.

Masalah yang menjadi perhatian utama adalah lokasi jatuh dan waktunya. Lokasi jatuh terkait erat dengan lintasan orbitnya. Mir yang jatuh Maret 2001 orbitnya mempunyai inklinasi 51,6 derajat, berpeluang jatuh di wilayah antara 51,6 derajat lintang utara (LU) – 51,6 derajat lintang selatan (LS). Sehingga dapat mengancam 80 negara yang mungkin dilewatinya. BeppoSAX yang jatuh 30 April 2003 orbitnya mempunyai inklinasi 4 derajat, sehingga mengancam 39 negara di sabuk ekuator.

Potensi bahaya terutama ditujukan bagi satelit-satelit aktif dan misi pelucuran wahana antariksa. Sampah yang berukuran lebih kecil dari 1 cm namun memiliki kecepatan sangat tinggi sehingga dapat merusak pesawat ulang alik dan satelit. Bahaya lainnya adalah jatuhnya sampah antariksa ke Bumi meskipun probabilitas menimpa manusia sangatlah kecil. Semakin rendah kedudukan sampah antariksa akan semakin cepat jatuh akibat hambatan atmosfer Bumi kian besar. Peningkatan aktifitas Matahari turut meningkatkan kerapatan atmosfer yang membawa konsekuensi makin banyaknya sampah antariksa yang jatuh.

Untuk sampah berukuran lebih kecil dari 10 cm dan berbobot beberapa gram saja tentu tidak masalah. Yang mengkuatirkan untuk sampah yang berbobot hingga ratusan kg. Contohnya adalah Satelit BeppoSAX milik Italia yang jatuh di Lautan Pasifik pada 30 September 2003 lalu setelah melintasi wilayah Indonesia. Sebulan setelah BeppoSAX, roket CZ-3 (Chang Cheng/Long March 3) milik China menghantam tanah di Kebun Karet, Desa Bukit Harapan IV, Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara pada 13 Oktober 2003. Menimbulkan getaran cukup keras meskipun tidak ada korban. Inilah peristiwa yang pertama kali terjadi dalam sejarah teknologi ruang angkasa, tabrakan dua satelit di ketinggian 790 km!

Setiap satelit atau sampah antariksa orbitnya pasti melewati ekuator, sehingga peluang jatuh di daerah ekuator sangat besar. Indonesia yang merupakan negara ekuator terbesar sangat potensial kejatuhan satelit atau sampah antariksa. Namun, jangan cemas dahulu. Perbandingan luasnya daerah jelajah dengan ukuran satelit atau sampah antariksa sangat jauh, sehingga kemungkinan untuk membahayakan manusia atau barang milik manusia sangat kecil. Kemungkinan seorang manusia terkena benda jatuh dari antariksa 1:1.000.000. 000.000. Sedangkan kemungkinan ada pesawat terbang yang terkena 1:10.000.000. Selama perkembangan teknologi antariksa memang belum ada laporan orang atau barang yang terkena benda jatuh dari antariksa. Bila terkena, tentu dampaknya sangat hebat. Benda jatuh dari antariksa mempunyai kecepatan sampai puluhan atau ratusan km/jam. Bobotnya pun bervariasi, bisa mencapai puluhan kilogram. BeppoSAX yang jatuh beberapa waktu lalu, pecahan terbesar berbobot 120 kg. Untungnya, puing-puingnya akhirnya jatuh di lautan Pasifik, sebelah barat daya Ekuador, Amerika Selatan.

Diberitakan pada tengah malam 10 Februari lalu, satelit komunikasi Iridium 33 dengan berat 560 kg milik Amerika Serikat yang melayani telepon satelit menabrak satelit yang sudah tidak terpakai milik Rusia, Cosmos 2251 dengan berat 900 kg. Versi lain menyebutkan bahwa satelit Rusia-lah penyebab tabrakan. Dikarenakan, Cosmos 2251 yang diluncurkan pada 1993, hanyalah seonggok besi tanpa “tuan” yang bergerak tanpa kendali, menabrak apa saja di depannya, termasuk Iridium 33 . Setelahnya, ribuan keping satelit terbentuk, dan menyebar, menambah jumlah sampah di orbit Bumi. Kejadian di atas merupakan peristiwa terburuk dari sisi besaran pecahan satelit setelah dihancurkannya secara sengaja satelit pemantai iklim milik China yang tidak berfungsi lagi pada 2007. Waktu itu tidak kurang 2,500 keping sampah terbentuk, dan mengorbit Bumi.

Membersihkan Sampah Antriksa

Banyak negara terus memantau keberadaan sampah dan memetakannya. Apalagi kian hari semakin banyak satelit diluncurkan. Maka kian bertambahlah populasi sampah. Hanya saja, lokasi jatuhnya sampah sulit ditentukan secara pasti. Upaya pencegahan dilakukan dengan beberapa rencana seperti membersihkan sampah dengan mengirimkan misi untuk memulung sampah, menghancurkan sampah sehingga menjadi serpihan kecil yang tidak berbahaya, membuang sampah pada “daerah sampah“ baik untuk orbit rendah maupun orbit tinggi sehingga ketika jatuh tidak menimpa wilayah yang berpenghuni serta merancang wahana antariksa dengan bahan bakar dan kandungan material yang tidak berbahaya. Yang lebih penting adalah adanya kode etik terutama bagi Negara-negara kontributor satelit sehubungan kegiatan sipil dan militer di luar angkasa seperti menghindari tindakan-tindakan sengaja yang dapat atau akan merusak dan menghancurkan benda-benda yang mengorbit Bumi.

Sampai saat ini tidak ada mekanisme yang dapat dilakukan manusia untuk membersihkan sampah antariksa. Satu-satunya yang diharapkan adalah membiarkan alam melakukannya untuk sampah di orbit rendah. Sementara tidak ada satu pun mekanisme untuk sampah di orbit GEO/GSO. Dalam kasus tertentu, ada upaya memulung sampah satelit yang gagal. Tetapi itu hanya dilandasi perhitungan ekonomis untuk mendaur ulang sampah tersebut dengan mengambilnya, memperbaikinya, dan menjualnya. Untuk sampah yang tidak punya nilai ekonomis, mengambilnya dengan pesawat ulang alik adalah upaya yang terlalu mahal untuk dilakukan.

Pemulungan satelit gagal terjadi pada satelit Palapa B2 yang diluncurkan Februari 1984. Satelit tersebut gagal mencapai posisi yang direncanakan karena motor apogee tidak berfungsi semestinya. Pada November 1984 Palapa B2 diambil dengan pesawat ulang alik kemudian diperbaiki dan dijual kembali kepada Indonesia. Kemudian diluncurkan kembali pada April 1990 dengan nama baru Palapa B2R. Akibat kegagalan peluncuran Palapa B2, Palapa B3 yang diluncurkan Maret 2003 diganti namanya menjadi Palapa B2P (pengganti B2 yang gagal), yang kemudian berganti lagi namanya jadi Agila 1 dengan pemilikan beralih kepada Filipina.

Kembali kepada masalah pembesihan, upaya maksimal yang kini bisa dilakukan adalah mengurangi sampah untuk masa mendatang. Langkah pertama adalah pencegahan pembuangan sampah yang harus dilakukan para perancang wahana antariksa. Sedapat mungkin benda-benda yang akan jadi sampah di buang sebelum mencapai orbit, sehingga langsung jatuh ke bumi. Pencegahan juga dilakukan dengan mengurangi kemungkinan ledakan diangkasa. Selain itu perlu dicari bahan bakar roket yang bebas debu, tidak seperti yang terjadi saat ini yang masih menyisakan debu halus aluminium oksida (Al3O2).

Langkah ke dua adalah merancang sistem untuk menjatuhkan sampah antariksa secara terencana atau membuang ke “zona sampah” pada akhir missinya. Tetapi langkah ini sangat mahal dan sangat sulit. Hanya missi antariksa besar yang saat ini sudah menerapkan langkah ini. Misalnya, stasiun antariksa Mir berbobot total 130 ton diturunkan secara terkendali ke daerah aman di Pasifik Selatan. Langkah ini mempunyai dua tujuan sekaligus, menjamin keselamatan penghuni bumi dari bahaya kejatuhan benda antariksa dan menjamin keselamatan wahana antariksa oleh sampah-sampah yang terus meningkat. Prioritas utama langkah ini sebenarnya untuk benda-benda di zona yang ramai diminati para pengguna satelit, baik di orbit rendah maupun GEO/GSO.

Langkah untuk membuang ke “zona sampah” terutama ditujukan untuk satelit di GEO/GSO yang dapat dikatakan tidak bisa turun secara alami dan satelit mengandung bahan berbahaya, seperti bahan bakar nuklir. “Zona sampah” di orbit rendah konon pernah digunakan oleh Uni Soviet pada era 1980 – 1990-an untuk membuang satelit berbahan bakar nuklir. Tetapi zona sampah di orbit rendah bukanlah zona aman, suatu saat akan jatuh juga. Zona sampah yang aman berada di atas orbit GEO/GSO. Selama ini yang digunakan pada zona 40 – 70 km lebih tinggi dari zona satelit operasional di GEO/GSO. Tetapi zona yang disarankan adalah sekitar 300 km lebih tinggi. Namun, untuk pembuangan ke zona ini sangat mahal biayanya. Perlu lebih banyak bahan bakar untuk mencapai orbit lebih tinggi itu dan membutuhkan pengendalian sekitar 3 bulan untuk mencapai orbit di zona aman tersebut.

Langkah ke tiga adalah pemusnahan sampah. Tetapi langkah ini masih impian. Cara pemulungan sampah antariksa, seperti pada satelit Palapa B2, sangat mahal dan masih perlu menggunakan pesawat berawak sejenis pesawat ulang alik untuk menangkapnya. Sementara cara lain yang diusulkan belum ditemukan teknologinya yang efektif, efisien, dan relatif tidak mahal. Misalnya, dengan balon penjaring untuk pengurangi kecepatannya dan menurunkan sampah ke orbit yang memungkinkan jatuh secara alami. Tetapi cara ini berbahaya bagi satelit operasional, karena penjaringan tidak pilih-pilih, semua yang terkena dipaksa jatuh. Cara lain adalah menembakkan sinar laser berenergi tinggi pada serpihan sampah antariksa untuk mengurangi kecepatannya hingga bisa jatuh atau menghancurkannya menjadi butiran halus yang tidak berbahaya. Namun, cara ini belum ada teknologinya, masih impian yang ingin diwujudkan.

Ternyata, sampah tidak hanya merepotkan manusia di daratan dan lautan, tapi juga di angkasa. Maklum, kita juga gemar buang sampah di atas sana. Ini karena kita sering mengirimkan pesawat ke ruang angkasa dan membuangnya begitu saja di sana ketika sudah kedaluwarsa. Soalnya, sampah yang bertebaran di angkasa sering berbenturan dengan pesawat berawak atau satelit yang masih digunakan. Berdasar catatan sebuah lembaga penelitian ilmiah Wired Science hingga Senin (27/4), dalam 54 kali misi penerbangan tercatat bahwa sampah antariksa dan meteoroid menabrak jendela pesawat hingga 1.634 kali sehingga mengharuskan 92 kali melakukan penggantian kaca jendela. Begitu juga dengan 317 kali benturan terhadap radiator pesawat yang mengharuskan 53 kali penggantian. Memang, selama ini belum ada benturan yang membahayakan keselamatan awak pesawat. Namun, tingkat keseringan benturan tersebut ditakutkan menimbulkan kerusakan yang lebih besar di masa mendatang karena jumlah sampah antariksa yang diyakini akan bertambah banyak.

Kini, para ahli antariksa telah mencari cara mengurangi bahaya sampah antariksa bagi misi penerbangan mereka di masa depan. Salah satu yang akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah sampah tersebut adalah menggunakan sebuah layar besar untuk mengumpulkan sampah-sampah tersebut agar tidak berserakan di udara atau membawanya pulang kembali ke bumi. Atas dasar itu, dua ilmuwan dari lembaga luar angkasa Eropa yakni Max Cerf dan Brice Santerre menghadirkan sebuah layar besar yang diberi nama aerobrake. Benda ini diklaim mampu menyaring dan mengumpulkan sampah-sampah luar angkasa yang mengorbit bumi. Gesekan dari layar besar tersebut dengan lapisan atmosfir akan membakar habis sampah-sampah tersebut hingga 25 tahun. Ini lebih cepat bila dibandingkan umur sampah-sampah tersebut yang dapat mencapai ratusan tahun.

Kini layar besar tersebut sedang dalam pengembangan tahap akhir dan akan diluncurkan dalam misi yang bernama Ariane 5. Luas area layar tersebut mencapai 350 meter persegi dan diperkuat dengan 12 meter tiang berbahan polimer dan aluminium berisi gas nitrogen. Namun, yang disayangkan, jumlah sampah antariksa tidak akan berkurang dengan cepat. Ini karena tabrakan antar sampah antariksa akan menimbulkan lebih banyak puing lagi.

Akibatkan Membengkaknya Biaya

Bertambahnya puing dan sampah antariksa, yang beterbangan di antariksa, membuat risiko terjadinya tabrakan di orbit semakin meningkat. Pakar antariksa Inggris menyatakan upaya untuk menghindari puing dan sampah yang memadati antariksa akan menambah biaya peluncuran wahana antariksa pada masa depan.

Studi mereka tentang perjalanan ke antariksa pada masa depan memprediksi bahwa peluang terjadinya tabrakan di orbit akan meningkat hingga 50 persen dalam 10 tahun mendatang dan 250 persen pada 2059 atau lebih dari 50 ribu dalam sepekan. “Sekarang adalah saat untuk bertindak, sebelum situasinya terlampau sulit dikendalikan,” kata Hugh Lewis dari University of Southampton, Inggris, yang mengepalai studi itu. “Jumlah obyek di orbit semakin meningkat dan pasti akan menimbulkan dampak.”

Selasa lalu, militer Amerika Serikat menyatakan setiap hari melacak pergerakan 800 satelit untuk memantau kemungkinan terjadinya tumbukan. Pentagon berharap bisa melacak 500 satelit bekas lainnya pada akhir tahun ini. Angkatan Udara Amerika telah meningkatkan kemampuan prediksi terhadap peluang tumbukan di antariksa setelah satelit komunikasi Rusia yang telah mati bertabrakan dengan satelit komersial milik Iridium, Amerika, pada 10 Februari 2009.

Dalam studinya, tim Lewis menelaah puing antariksa yang terjadi sejak dimulainya zaman antariksa, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik 1 pada 1957. Hal ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana sampah mulai memadati antariksa sejak saat itu dan apa yang akan terjadi pada masa depan dengan semakin banyaknya peluncuran satelit ke antariksa.

Meski peluang terjadinya tabrakan di orbit (close encounter), yang didefinisikan sebagai obyek yang saling berpapasan dalam jarak di bawah 5 kilometer, dipastikan bakal meningkat tajam, Lewis mengatakan pengaruh utama yang harus diperhatikan bukanlah peningkatan tabrakan, melainkan jumlah dan biaya untuk menghindari insiden tersebut. Studi yang dilakukannya memperkirakan bahwa operator satelit harus melakukan sedikitnya lima kali lipat gerakan untuk menghindari tabrakan pada 2059 dibanding 2019. Setiap gerakan itu membutuhkan operasi strategis yang membutuhkan waktu, keahlian, uang, serta membuat biaya perjalanan ke antariksa kian membengkak

Hindari Sampah Antariksa

Cina telah mendirikan pusat peringatan dini guna melindungi satelit dan pesawat antariksa mahal negeri itu dari puing antariksa yang kian bertambah. “Pusat Penelitian dan Pengamatan Puing dan Sasaran Antariksa” didirikan awal Maret di Pusat Pengamatan Gunung Ungu (PMO), yang terkenal, di kota Nanjing bagian timur negeri itu. Ini akan menjadi sistem peringatan dini bagi bidang antariksa Cina. Pusat Penelitian dan Pengamatan Puing Antariksa tersebut dimaksudkan untuk melindungi pesawat antariksa berawak negeri itu dan satelit besar mahal miliknya. Puing antariksa, yang biasa dikenal sebagai “sampah antariksa”, ialah puing yang ditinggalkan oleh manusia di antariksa, mulai dari satelit yang ditinggalkan dan komponen logam bermacam pesawat antariksa sampai residu dan bubuk yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar padat.

Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 110.000 potong puing antariksa yang tak terlacak dengan diameter lebih dari satu sentimeter di antariksa dan lebih dari 40 juta potong dengan diameter lebih dari satu milimeter. Puing tersebut memiliki bobot 3.000 ton dan jumlahnya meningkat dua sampai lima persen per tahun, yang seperti dikatakan ilmuwan akan menghalangi apa pun yang akan memasuki orbit antariksa sampai 2300

Waspadai Hujan Sampah antariksa tahun 2012

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengingatkan masyarakat akan bahaya akibat bakal maraknya sampah antariksa yang jatuh ke Bumi. Puncak potensi bahaya akibat sampah dari satelit yang tidak lagi terpakai ini terjadi pada 2012. Hal itu diingatkan Thomas Djamaluddin, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan, di dalam acara Press Tour yang diadakan Kamis (10/12/2009) . Acara ini diikuti sejumlah wartawan dari sejumlah media cetak ataupun elektronik.

“Pada saat itu, atmosfer Bumi akan menjadi lebih padat akibat pengaruh aktivitas iradiasi matahari di saat siklus puncak. Dengan kian padat, ada hambatan bagi satelit dalam bergerak. Kecepatan menjadi semakin rendah dan lama-lama kehilangan gravitasi dan ketinggian sehingga akan mudah jatuh,” tutur profesor riset di bidang astronomi Lapan ini. Saat itu, lanjut Thomas, diperkirakan hampir setiap hari sampah berupa satelit akan jatuh ke permukaan Bumi. Pada kondisi normal, rata-rata hanya dua satelit atau pecahannya yang jatuh per pekannya. Adapun jumlah sampah antariksa ini bisa mencapai 13.000 dalam ukuran lebih dari 1 sentimeter.

“Namun, masyarakat jangan panik,” katanya. Menurut dia, peluang sampah antariksa ini untuk mengenai manusia atau obyek yang dimiliki manusia sangat kecil. “Secara keseluruhan, Bumi ini kan luas. Mayoritas seperti laut, gurun, dan hutan tidak berpenghuni. Jadi, peluangnya kecil,” ucapnya. Thomas memberi contoh, sebuah satelit rusak yang berada di atas langit Indonesia memiliki peluang yang sama untuk bisa jatuh di Indonesia ataupun Arab Saudi dalam rentang jarak yang cukup jauh, yaitu 1.000 kilometer. “Makanya, ini sulit diprediksi akan jatuh di mana,” ucapnya.

Pada 2003, saat terjadi puncak aktivitas matahari, Indonesia dihujani sampah-sampah ini. Pecahan yang jatuh sampai ke tanah, antara lain, di Bengkulu dengan ukuran 80 x 120 cm. Satelit Berposax juga sempat melintas di Indonesia pada Mei 2003. Pecahan yang terbesar, berukuran manusia, yaitu sisa Roket Soyus dan Cosmos terjadi pada Maret 1981 di Bengkulu.Pernah pula dilaporkan sampah ini menimpa sapi, lalu SPBU. Namun, ini bukan di Indonesia, tutur Sri Kaloka, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa.

Benda besar yang meledak di atas bumi Bone, Sulawesi Selatan masih misterius. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) masih mencari tahu apakah benda tersebut meteor atau sampah antariksa yang masuk ke bumi. “Kalau sampah antariksa seperi bekas roket atau satelit, kita intens memantaunya,” kata peneliti utama astronomi dan astrofisika LAPAN, Thomas Djamaluddin saat dihubungi VIVAnews, Kamis 8 Oktober 2009. Saat dihubungi Thomas dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Ledakan yang terjadi di langit Bone berdasarkan keterangan saksi mata terjadi sebanyak empat kali. Warga Palette, Bone, Sulsel, melihat ada pijaran api. Kepolisian masih meneliti benda misterius tersebut. Karena sejauh ini tidak ada warga yang melihat benda itu menyentuh tanah. “Kalau ledakan dari sumber manusia, pesawat tidak ada, tentu akan kita periksa apakah itu ada kaitannya dengan benda antariksa, seperti meteorit atau sampah antariksa,” kata Thomas.

Pada dasarnya, meteor dan sampah antariksa akan menimbulkan percikan api jika bergesekan dengan atmosfir akibat pelepasan energi. Sedangkan ledakan yang terjadi bisa karena benda tersebut pecah di udara. “Kita akan cek dulu, apakah ada sampah antariksa yang jatuh. Kalau meteor relatif kecil, biasanya kalau kecil tidak terpantau. Kalau besar akan terpantau dari pemantau internasional,” kata Thomas yang masih akan memastikan sumber ledakan itu. (sumber : milis kav. pelita air service: RT08PB/googlegroups.com)

No comments: