by kasmadi
Seorang sutradara terkenal menulis sebuah artikel yang isinya bernada prihatin atas nasib budaya dan tradisi lokal yang tergerus atas sikap dan perilaku warganya. Keprihatinan ini ia tumpahkan meski mungkin belum seluruhnya di harian Ibukota, Kompas. Sutradara muda, energik dan kritis itu : Mira Lesmana. Sangat beralasan kalau ia sangat prihatin.
Jakarta adalah magnet terkuat di Indonesia. Seluruh rakyat ini, apalagi dalam dua bulan terakhir dan satu bulan ke depan akan tertuju perhatiannya ke jakarta. Bulan penuh riuh rendah akan janji-janji politik untuk memperebutkan trophy Indonesian Idol : Presiden!
Tapi bukan itu yang ingin disampaikan melalui tulisan ini. Saya ingin menyambung keprihatinan seorang Mira Lesmana dari sisi yang lain. Bahwa, Jakarta menjadi kiblat seluruh sendi kehidupan masyarakat adalah lumrah karena jakarta menjadi pusat kota negara. Akan tetapi, kalau kita melupakan nilai-nilai budaya lokal, apalah artinya jati diri bangsa ini. banyak kreativitas dan ide-ide lokal yang tersisihkan, hanya karena penentu kebijakan ada di jakarta.
Selain tayangan acara televisi yang Jakarta Oriented, penduduk urban yang datang ke Jakarta pada saat Lebaran tiba membawa segala macam pola perilaku Jakarta baik negatif maupun positif ke kampung halamannya. Positif kalau menularkan sikap-sikap yang baik seperti kalau hidup di Jakarta memang harus fight dan tidak kenal menyerah serta malu kalau mau sukses. Negatifnya, bisa kita lihat mulai dari cara berpakaian; mode berpakaian tanktop, rokmini, glamour, bahasa gaul Jakarta yang belum tentu cocok logatnya, sikap materialisme yang berlebihan, akhlak yang tidak mencerminkan tradisi dan budaya lokal. Kebiasaan baru ini tentu saja membawa dampak yang parah kalau tidak dibendung dengan kuat oleh keluarga dan pemerintah.
Pada akhirnya, masyarakat desa tertarik untuk juga nyemplung ke danau keruh dan butek, situ besar berpagar beton : Jakarta. Hilanglah keinginan untuk membangun desa, mengembangkan kreatifitas daerah kerana Jakarta telah mengubah pandangan hidup sebagian masyarakat kita. Meski Jakarta tidak melulu buruk, perlu dipikirkan dan ditindaklanjuti untuk mengembangkan sumber daya manusia dengan sgudang kreatifitas masyarakat daerah. Rezeki dan kesuksesan tidak harus diraih di Jakarta. Dari ujung Merauke sampai ujung Papua terpendam banyak berlian-berlian yang terpendam untuk dimunculkan. Berlian tersebut tidak perlu dipoles dan diboyong ke Jakarta, tetapi dikembangkan di daerah agar masyarakat tidak menjadi Jakarta Oriented.
Seorang sutradara terkenal menulis sebuah artikel yang isinya bernada prihatin atas nasib budaya dan tradisi lokal yang tergerus atas sikap dan perilaku warganya. Keprihatinan ini ia tumpahkan meski mungkin belum seluruhnya di harian Ibukota, Kompas. Sutradara muda, energik dan kritis itu : Mira Lesmana. Sangat beralasan kalau ia sangat prihatin.
Jakarta adalah magnet terkuat di Indonesia. Seluruh rakyat ini, apalagi dalam dua bulan terakhir dan satu bulan ke depan akan tertuju perhatiannya ke jakarta. Bulan penuh riuh rendah akan janji-janji politik untuk memperebutkan trophy Indonesian Idol : Presiden!
Tapi bukan itu yang ingin disampaikan melalui tulisan ini. Saya ingin menyambung keprihatinan seorang Mira Lesmana dari sisi yang lain. Bahwa, Jakarta menjadi kiblat seluruh sendi kehidupan masyarakat adalah lumrah karena jakarta menjadi pusat kota negara. Akan tetapi, kalau kita melupakan nilai-nilai budaya lokal, apalah artinya jati diri bangsa ini. banyak kreativitas dan ide-ide lokal yang tersisihkan, hanya karena penentu kebijakan ada di jakarta.
Selain tayangan acara televisi yang Jakarta Oriented, penduduk urban yang datang ke Jakarta pada saat Lebaran tiba membawa segala macam pola perilaku Jakarta baik negatif maupun positif ke kampung halamannya. Positif kalau menularkan sikap-sikap yang baik seperti kalau hidup di Jakarta memang harus fight dan tidak kenal menyerah serta malu kalau mau sukses. Negatifnya, bisa kita lihat mulai dari cara berpakaian; mode berpakaian tanktop, rokmini, glamour, bahasa gaul Jakarta yang belum tentu cocok logatnya, sikap materialisme yang berlebihan, akhlak yang tidak mencerminkan tradisi dan budaya lokal. Kebiasaan baru ini tentu saja membawa dampak yang parah kalau tidak dibendung dengan kuat oleh keluarga dan pemerintah.
Pada akhirnya, masyarakat desa tertarik untuk juga nyemplung ke danau keruh dan butek, situ besar berpagar beton : Jakarta. Hilanglah keinginan untuk membangun desa, mengembangkan kreatifitas daerah kerana Jakarta telah mengubah pandangan hidup sebagian masyarakat kita. Meski Jakarta tidak melulu buruk, perlu dipikirkan dan ditindaklanjuti untuk mengembangkan sumber daya manusia dengan sgudang kreatifitas masyarakat daerah. Rezeki dan kesuksesan tidak harus diraih di Jakarta. Dari ujung Merauke sampai ujung Papua terpendam banyak berlian-berlian yang terpendam untuk dimunculkan. Berlian tersebut tidak perlu dipoles dan diboyong ke Jakarta, tetapi dikembangkan di daerah agar masyarakat tidak menjadi Jakarta Oriented.
No comments:
Post a Comment