Tanya : Transaksi Ekonomi itu merupakan bagian dari Hubungan Sosial ataukah sebaliknya ?.
Jawab : Dulu Transaksi Ekonomi hanya satu bidang saja dari banyak Hubungan Manusia, sekarang sebaliknya, hubungan persahabatan pun makin dikuasai Kalkulasi Ekonomi.
Tanya jawab diatas mungkin dapat dijadikan deskripsi ringkas dan
sederhana untuk menggambarkan secara sekilas tentang apa yang disebut sebagai ‘Neo-Liberalisme’, sebuah ‘isme’ yang telah menyusup ke semua aspek kehidupan kita, tanpa kita sadari dan bahkan tanpa sempat kita memikirkannya. Tentu saja, penerapan filsafat transaksi ekonomi dalam semua relasi sosial dari gagasan Neo-Liberalisme ini memiliki implikasi yang sangat jauh dan mendalam dibidang ekonomi-politik dan keadilan
sosial dalam tata kemasyarakatan.
Jantung dari gagasan ekonomi-politik Ordo Neo-Liberalisme adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang/jasa/ modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi
itu juga hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep Homo Economics, yaitu barang/ jasa/modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga Private Property pun menjadi absolut tanpa
tanggung-jawab peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat sebesar-besarnya. Dan keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik.
Kalkulasi ekonomi ditempatkan sebagai satu-satunya kunci untuk mendekati semua masalah dan persoalan, maka terjadilah berbagai pemindahan regulasi dari lingkup arena sosial menjadi lingkup urusan personal saja.
Apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial yang merupakan persoalan negara dan membutuhkan kebijakan sosial/welfare system seperti kemiskinan, kekurangan gizi, pengangguran, dan sebagainya- kemudian dianggap hanya menjadi masalah individual/personal semata yang hanya membutuhkan kebijakan individual self-care saja.
Dalam hal private property yang berkaitan dengan kekuasaan pasar atas sektor publik, inilah yang membedakan konsep ekonomi-politik Ordo Neo-Liberalisme dengan konsep awal dari gagasan liberalisme yang diusung dalam konsep ekonomi-politik Ordo Liberalisme Klasik.
I. ORDO LIBERALISME KLASIK.
Sebuah kelompok para ahli hukum dan ekonomi yang tergabung dalam Mazhab Freiburg, antara tahun 1928-1930, mengembangkan sebuah gagasan ekonomi-politik yang kemudian luas dikenal sebagi gagasan ekonomi-politik Ordo Liberalisme. Untuk membedakan dengan gagasan
Liberalisme yang kita kenal dewasa ini, Ordo Neoliberalisme. Maka untuk selanjutnya gagasan mazhab Freiburg ini disebut sebagai Ordo Liberalisme Klasik”.
Gagasan utama Ordo Liberalisme Klasik adalah Ekonomi Pasar Sosial atau Soziale Marktwirtschaft / Social Market Economy, yaitu sebuah sistem ekonomi bebas yang disertai dengan berbagai regulasi yang diciptakan untuk menjaga agar kinerja pasar tetap kompetitif dan adil, serta untuk mencegah konsentrasi kekuasaan ekonomi, yang biasanya terjadi dalam bentuk kartel/trust/ perusahaan raksasa.
Landasan dasar pemikiran konsep ekonomi-politik Ordo Liberalisme Klasik, yang pertama adalah gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi.
Konsep pasar/market dilihat sebagai salah satu dari berbagai macam model hubungan sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah suatu gejala alami seperti gempa bumi atau musim semi, misalnya. Dalam gejala alami tersebut, bahkan sendainya tidak ada manusia sekalipun maka hukum-hukum alaminya itu akan tetap berlaku.
Oleh karena pasar bukanlah gejala alami, maka pasar dapat diciptakan dan dibatalkan menurut desain dari kehendak manusia.
Tidak ada ekonomi yang terpisah dari politik, sebagaimana tak ada politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas menciptakan sederet kondisi bagi operasinya agar adil dan kompetitif.
Kedua, kaum liberalis klasik, menolak konsepsi sejarah yang mengasalkan perubahan sosial hanya pada proses-proses perubahan ekonomi semata.
Proses perubahan sosial terbentuknya ekonomi-politik kapitalisme maupun sosialisme-marxisme adalah sejarah institusional- ekonomi, dimana antara ekonomi dan infrastruktur sosial terjadi suatu hubungan sebab-akibat yang timbal-balik.
Ketiga, para pemikir liberalis klasik, menolak kinerja kapitalisme yang hanya diasalkan pada logika modal/capital semata.
Transaksi ekonomi hanyalah salah satu bentuk dari relasi sosial manusia, oleh karenanya hubungan-hubungan sosial manusia bukanlah untuk mengabdi kepada kapitalisme, melainkan kapitalisme yang harus mengabdi untuk membantu kebutuhan relasi sosial manusia agar berlangsung dengan adil dan kompetitif.
Kapitalisme merupakan sistem ciptaan manusia/human construct, oleh sebab itu pastilah dapat diubah serta dimodifikasi dan desain ulang oleh manusia. Dalam rangka proses mengubah dan memodifikasi kapitalisme itu, maka diperlukan suatu proses transformasi kapitalisme, dimana dilakukan upaya-upaya untuk menciptakan bentuk-bentuk baru kapitalisme yang lebih
sesuai dengan kebutuhan relasi sosial manusia.
Gejala konsentrasi kekuasaan ekonomi ditangan perusahaan-perusahaan raksasa, monopoli maupun kartel, bukanlah suatu gejala alami atau nasib alami dari sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut semata merupakan produk gagal dari suatu strategi ekonomi-politik yang gagal, dan produk gagal itu dapat dicegah dengan rangkaian berbagai politik kebijakan sosial/Gesellschaft Politik dalam suatu kebijakan sistem kesejahteraan/ Welfare System.
Keempat, dalam gagasan ordo liberal klasik, kebijakan sosial merupakan prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan kompetitif.
Serangkaian kebijakan sosial, mutlak diperlukan sebagai pencegah terjadinya kesenjangan kekuasaan ekonomi yang tajam, serta untuk menciptakan dan memperluas etos entrepreneurship dalam masyarakat, juga untuk menciptakan iklim inovasi disegala bidang.
Kelima, kaum liberal klasik melihat soalnya tidak terletak pada bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam konteks tata-negara yang ada, melainkan bagaimana menciptakan tata-negara yang menjamin kebebasan ekonomi.
Dalam konsep ekonomi-politik ordo liberal klasik, negara dilihat sebagai prasarana badan publik/public agency bagi tata keadilan masyarakat. Oleh sebab itu, aspek-aspek komuniter dari hidup masyarakat, perlu mendapat perhatian yang khusus.
Dari lima pokok gagasan ekonomi-politik ordo liberalisme klasik seperti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa ordo liberalisme klasik mencoba membuat perimbangan antara kebebasan dan keadilan sosial, manusia individual dan manusia komuter.
Gagasan ini mencoba menerobos pilihan-pilihan ekstrem antara ekonomi-politik sosialisme negara dimana berlaku sistem ekonomi komando, dengan ekonomi-politik kapitalisme dimana berlaku sistem ekonomi yang dikuasai oleh konsentrasi kekuasaan modal lewat perusahaan-perusahaan raksasa, kartel, dan trust.
II. ORDO NEO-LIBERALISME.
II.1. SEJARAH NEO-LIBERALISME.
Tahun 1937 -ketika Komunisme dan Fascisme melanda Eropa– Friedrich August von Hayek, ekonom Austria, menerbitkan Economics and Knowledge, yang menyatakan bahwa kapitalisme pasar bebas bukan sekedar bentukan sosial/sosial construct, tetapi sebuah mekanisme alami untuk mengelola informasi.
Tahun 1944, kembali menerbitkan The Road to Serfdom yang menuliskan kritik keras dan tajam terhadap sosialisme dan segala bentuk ekonomi perencanaan sentral.
Dia mengajukan gagasan tentang keunggulan Kapitalisme Pasar Bebas. Menurutnya, dengan membiarkan jutaan individu mereaksi secara bebas, maka akan terjadi optimalisasi alokasi modal dan kreativitas manusia serta tenaga kerja, yang tak mungkin dapat ditiru oleh ekonomi
perencanaan sentral.
Pada tahun 1947, Hayek mengadakan konferensi tertutup di Mont Pelerin Swiss. Mereka disatukan oleh keprihatinan atas munculnya gelombang kolektivisme yang melanda Eropa. Konferensi itu membuahkan kesepakatan pada pembentukan sebuah kelompok dengan nama The Mont Pelerin Society.
Tahun 1950, Hayek hijrah ke Amerika Serikat untuk kemudian bergabung menjadi anggota staf akademis di Universitas Chichago. Pada saat itu, pare ekonom di Universitas Chicago seperti Milton Friedman, George Stigler, Gary Becker, sedang getol-getolnya mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang pasar bebas. Friedman dikenal sebagai penentang keras tentang campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi, gagasan dari ekonom John. M. Keynes.
Menurut Friedman, kebijakan stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran dengan kebijakan investasi untuk mengungkit belanja masyarakat, justru akan membangkrutkan masyarakat karena itu berarti kontrol pemerintah atas peredaran uang.
Menurutnya, kehidupan ekonomi masyarakat akan berlangsung baik jika tanpa campur tangan apapun dari pemerintah, insentif individual adalah pedoman terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Tingkat pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan campur tangan pemerintah, melainkan cukup diserahkan saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas. Ia juga menyatakan bahwa hanya ada satu tanggung-jawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber-dayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba.
Tahun 1979 Margaret Thatcher terpilih sebagai PM Inggris, dan tahun 1980 Ronald Reagan terpilih sebagai Presiden AS. Kedua tokoh ini sangat antusias memperjuangkan pasar bebas, melakukan privatisasi dan penjualan aset sektor pelayanan publik kepada pihak swasta, serta mengontrakkan sejumlah fungsi negara.
Dibawah kepemimpinan dua tokoh baru ini terjadilah pergeseran prioritas secara jelas, peran pemerintah secara fundamental berubah dengan cepat, meninggalkan komitmen pemerintah dalam welfare state dan full employment dengan lebih mementingkan pelayanan swasta dibanding publik.
Walaupun antara kedua pemimpin ini terdapat beberapa perbedaan, Thatcher memakai moneterisme dengan menekankan kontrol ketat atas money supply, sedangkan Reagan memakai supply-side dengan memberikan insentif sebesar-besarnya bagi produksi.
Mereka berpendapat bahwa peran pemerintah adalah menyediakan sebuah kerangka dimana rakyat dan masyarakat dapat mengejar tujuan-tujuan mereka, negara tidak untuk menjamin kesejahteraan umum maupun memikul tanggung-jawab untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak produktif dengan alasan apapun juga.
Mereka, serempak melakukan pemotongan atas beban pengeluaran sosial dan tunjangan kesejahteraan, yang menurut mereka telah mengikis insentif ekonomi yang memungkinkan
pertumbuhan ekonomi.
Di Amerika Serikat, abad baru dimulai dalam periode terpanjang pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah dengan angka pengangguran terkecil sepanjang 30 tahun, sekaligus surplus anggaran untuk pertama kalinya selama 42 tahun terakhir.
Perusahaan-perusaha an USA menikmati pertumbuhan yang sangat luar biasa, dan para CEO dibayar sangat mahal atas jasanya dalam mengawal korporasi-korporasi di masa booming ekonomi. Michael Eisner bos Disney berpendapatan 576 juta USD, Mel Karmazin sebagai bos CBS digaji sebesar 200 juta USD pada tahun 1998.
Bangsa AS menyandang gelar sebagai bangsa pedagang saham sehari/daytrades, makin banyak rumah tangga yang berjudi dengan surplus uangnya dan menggantungkan diri pada saham yang dianggap sepertinya bakal akan terus berkembang.
Di Inggris, Proporsi penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri melonjak dari sekitar separo pada tahun 1980 menjadi dua pertiga pada akhir masa kepemimpinan Thatcher. Angka pengangguran berada pada tingkat terendah sejak tahun 1980.
Kebanyakan penduduk Inggris memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Membelanjakan lebih dari 56 juta USD untuk berlibur empat hari ke luar negeri menjadi hal biasa bagi penduduk Inggris pada tahun 1998. Dalam satu dekade
saja, jumlah pemegang saham telah melonjak melebihi jumlah anggota serikat buruh.
Kapitalisme menjadi populer, setiap orang ingin ikut ambil bagian dalam kesuksesan Thatcherisme dalam bidang ekonomi. Mereka yakin bahwa korporasi yang berhasil dan tak terhambat akan membangun jalan menuju Nirwana.
II.2. NEO-LIBERALISME MERAMBAH DUNIA.
Kredo Kapitalisme Pasar Bebas -versi Anglo Amerika- dengan memanfaatkan kemajuan dibidang komunikasi dan media telah merebak dengan cepat keseluruh dunia, merambah wilayah-wilayah mulai dari Amerika Latin, Eropa, hingga Asia, tak terkecuali juga seluruh benua Afrika.
Ekonomi-politik Neo-Liberalisme semakin diterima secara meluas, dan sejak itu ada beberapa perkembangan yang amat signifikan diantaranya adalah : semakin pesatnya internasionalisasi perdagangan dan finansial, meningkatnya kekuatan perusahaan multinasional/ perusahaan transnasional, semakin kuatnya pengaruh dan peran institusi IMF-WB-WTO.
Sejumlah negara berkembang setelah melihat success story macan-macan ekonomi Asia, semacam Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan, serta didorong oleh rasa frustasi dengan fakta bahwa sedikitnya hasil yang diperoleh dari kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka mereka mulai membuka pasar domestiknya dan mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Sistem ekonomi Anglo-Amerika , berkat Washington Consensus-nya IMF, diwilayah emerging market seperti Eropa Timur dan Afrika Selatan, pun disambut dengan hangat pula.
Sistem ekonomi Sosialisme dan Komunisme di Uni Soviet ambruk, dan telah terbukti gagal dan mengalami kehancuran. Perusahann-perusaha an negara dijual kepada swasta, perdagangan internasional menerobos masuk ke pasar domestik. Sistem ekonomi Sosialisme dan Komunisme dibubarkan, subsidi atas welafare dibatalkan.
Sementara itu, China yang selama kurang lebih 30 tahun menganut sistem ekonomi terencana terpusat, juga mulai mengurangi peran negara. Negara tak lagi memegang monopoli atas produksi barang dan penentuan harga barang dan jasa, perusahaan swasta termasuk swasta asing mulai bermunculan. Subsidi untuk welfare mulai menyusut drastis.
Hanya segelintir saja negara diwilayah Asia yang tampaknya masih sedikit enggan untuk sepenuhnya menganut konsensus baru tersebut, namun akibatnya harus meraka bayar sangat mahal.
Menurut para penganjur Ordo Neo-Liberal, krisis Asia terjadi adalah akibat intervensi pemerintah yang diluar batas, disamping karena maraknya praktik kapitalisme kroni dan inefisiensi pasar. Kemudian bantuan pun diberikan melalui IMF dengan syarat apabila mereka
melakukan SAP (structural adjustment programs) yaitu liberalisasi, deregulasi, privatisasi.
Pada periode yang sama, bantuan sebagai salah satu dari instrumen tradisional bagi pembangunan dihapus secara bertahap oleh negara-negara maju. Tahun 1990, volume total investasi langsung/foreign direct investment senilai 60 milyar USD, sedangkan volume bantuan senilai 20 milyar USD. Pada tahun 1992, volume FDI untuk pertamakalinya mengungguli
volume bantuan. Kemudian terus berkembang sehingga pada tahun 1997, volume FDI dinegara-negara berkembang bernilai lebih dari 160 milyar USD, sementara volume bantuan hanya 40 milyar USD.
Menyusuli kesuksesan konsep Neo-Liberalisme, kini bahasa dan pola pikir konsep itu mendominasi pola pikir masyarakat diseluruh pelosok dunia. Pahlawan-pahlawan baru, semisal Bill Gates, Jack Welch, Lee Iacocca, Soros, dan sebagainya, sangat dihormati dan dikagumi. Mereka tak hanya dianggap sebagai pahlawan bisnis saja, melainkan juga sebagai pahlawan
era baru, sumber resep kesuksesan kehidupan. Dunia bisnis menjadi dunia dambaan dan menampilkan diri sebagai dunia masa depan.
Modus dan pola pikir ekonomi yang semula hanya merupakan prinsip didunia bisnis saja, sekarang telah menjadi prinsip bagi seluruh segi kehidupan, baik di segi kehidupan sosial, politik, kultural, bahkan telah menjelma menjadi sebuah religi baru. Religi baru yang amat populer dan digemari ini secara implisit mengajarkan suatu konsep yang menganjurkan manusia untuk sepenuhnya menjadi homo economicus.
Homo economicus dianggap merupakan kodrat manusia yang paling natural dan paling manusiawi, sebab pertama-tama dan terutama manusia beroperasi atas motif ekonomi, sedangkan motif-motif lainnya datang setelah motif ekonomi dan diatur oleh prinsip ekonomi.
Sedangkan logika konsep ekonomi-politik Neo-Liberalisme adalah sistem yang paling tepat untuk operasionalisasi konsep kodrati manusia sebagai homo economicus. Konsep homo economicus yang diusung oleh Neo-Liberalisme ini sukses merambah keseluruh dunia dan semua lini kehidupan bermasyarakat. Konsep ini diadopsi secara total oleh pola pikir masyarakat diseluruh pelosok dunia, karena keberhasilannya mengidentifikasikan antara Neo-Liberalisme dengan sistem kebutuhan manusia.
Pada bulan Maret 2002 di Monterrey-Mexico, presiden Amerika Serikat, George W Bush, menegaskan perlunya segera dan secepatnya menggelorakan pasar-bebas dalam rangka National Security Strategy Amerika Serikat yang olehnya dikemas dalam suatu prinsip moral berdasarkan kebebasan. Kapitalisme Laissez-Faire International tampaknya telah meraih
kejayaannya, dan menyerahkan perekonomian secara sepenuhnya pada pasar bebas tampaknya memang merupakan pilihan yang paling tepat.
Sekilas memang begitu. Namun seperti pepatah there is no free lunch. Dengan demikian, maka harga apa yang harus kita bayar untuk itu ?.
II.3. NEO-LIBERALISME dan PASAR GLOBAL.
Pada dasarnya globalisasi ekonomi telah ada sejak jaman dahulu kala. Indonesia misalnya, pada abad 17-an sudah menerima kedatangan VOC/Vereenigde Oostindische Compagnie, sebuah perusahaan multinasional dari Belanda yang didukung oleh tentara kerajaan Belanda. Kemudian
selama sekian abad, VOC telah berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia untuk diekspor ke pasar Eropa.
Pada dekade 1930-an, pasar saham paling bergengsi Wall Street ambruk, disusul dengan kolapsnya Bank Creditanstalt Austria. Dampak resesi ekonominya pun terasa sampai di Indonesia, yang kala itu kita menyebutnya sebagai Jaman Meleset/Malaise.
Namun di abad 20-21 ini, memang secara intensitas, globalisasi dan integrasi pasar uang dunia, telah meningkat sedemikian cepat merasuk kesegala penjuru dunia. Secara spektakuler telah menciptakan hubungan keterkaitan serta saling ketergantungan antar negara pada benua yang
berbeda.
Wartawan Indonesia yang tengah berada di Irak dengan secepat kilat dalam hitungan detik dapat mengirimkan berita ke kantor redaksinya di Jakarta dengan menggunkan e-mail, teknologi teleconference bahkan dapat digunakan untuk komunikasi dua arah. Chloe Oliver di Melbourne dalam hitungan detik dapat membeli saham PT.Telkom di New York Stock Exchange.
Skandal keuangan/financial fraud diperusahaan AS seperti WorldCom dan Enron telah merontokkan harga saham di Wall Street yang efek berantainya menjalar keseluruh pasar saham diberbagai belahan dunia lainnya. Krisis mata uang Thailand yang kemudian berimbas merontokkan ekonomi negara-negara Asia termasuk pula Indonesia.
Globalisasi endemi Avian Virus, dari Hongkong dimana komunitasnya merupakan penikmat masakan daging Babi, telah dengan cepat merebak dan merambah ke kandang peternak ayam kampung di pelosok desa. Pergerakan orang melintasi dunia yang sangat intens di abad ini, telah ikut andil dalam sukses dan menduniakannya penyakit AIDS dan penyakit kelamin
lainnya.
Pertumbuhan ekonomi negara maju yang bertambah tinggi dan pertumbuhan industri negara maju yang bertambah banyak tentunya memerlukan ekspansi untuk mencari pasar baru.
Maka dalam rangka memperbesar pasar bagi barang / jasa hasil produksinya, negara-negara maju kemudian berusaha memasukkan isu-isu baru kedalam WTO / World Trade Organization.
Organisasi baru ini pada tahun 1995 telah mengantikan peran dari GATT/General Agreement on Tariffs and Trade. Keputusan dan perjanjian yang dihasilkan oleh WTO ini bersifat mengikat secara hukum/legal binding, sehingga mengikat anggotanya secara ketat dan disiplin, setiap
pelanggaran akan dikenai sangsi hukum.
Sektor pertanian yang berkaitan dengan pangan pun tak terkecuali, turut diliberalisasikan WTO melalui kesepakatan- kesepakatan AOA/Agrement On Agriculture. Perjanjian WTO di sektor pertanian, disamping AOA mencakup pula soal TRIPS/trade related aspect on intellectual property rights/hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan. Sejak tahun
2000, negara anggota WTO wajib melakukan harmonisasi undang-undang nasionalnya agar sejalan dengan kesepakatan itu.
Sehingga dengan adanya hak paten atas mahluk hidup itu, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis/varietas sesuai patennya itu, dan apabila oarang lain akan memanfaatkan atau pun menjual jenis/varietas itu termasuk turunannya maka mereka harus membayar kepada pemilik paten dari jenis/varietas itu.
Disisi lain, paten itu hanya diberlakukan untuk jenis/varietas yang baru dan dapat digunakan dalam skala industri yang pemuliaannya dilakukan oleh pelaku bioteknologi.
Sekitar seratus perusahaan multinasional/ perusahaan transnasional yang berkonsentrasi dalam bidang usaha jual beli benih/pestisida/ pupuk kimia/produk pertanian/pangan, mengendalikan dan menguasai lebih dari 70% perdagangan pertanian dunia. Monsanto/Syentega/ Astra
Seneca/Novartis/ Cargill telah menguasai hampir 75% pasar global pestisida, menguasai 100% pasar global bibit transgenik dan sekitar 25% penjualan bibit termasuk juga bisnis lisensi dan royalty patennya.
Korporasi-korporasi itu menguasai dan mengendalikan perdagangan dunia. Sebagai gambaran, salah satu raksasa korporasi hayati, Novartis misalnya. Korporasi raksasa hasil merger Sandoz dan Ciba-Geigy ini merupakan korporasi agrokimia nomor satu di dunia, merangkap korporasi
farmasi terbesar ketiga, sekaligus korporasi penyedia obat-obatan hewan terbesar keempat, juga merupakan korporasi penyedia benih terbesar kedua.
Selain itu juga mempunyai kontrak dengan sejumlah korporasi genom manusia dalam mendapatkan akses kepemilikan sejumlah gen manusia. Lewat klaim paten atas produk-produk hayati yang didukung sejumlah teknik bioteknologi canggih dan paten atas organisme-organisme hayati berikut pengetahuan mengenai kegunaannya, korporasi raksasa ini mengeruk
keuntungan yang luar biasa.
Demikian pula diberlakukan kebijakan kompetisi/competiti on policy di sektor-sektor yang semula merupakan sektor non-perdagangan seperti pada sektor listrik, sumber daya air, dan migas.
Sektor listrik, energi dan migas, yang semula merupakan public goods dengan penguasaan dan pengendalian vertically integrated oleh pemerintah/negara, dirubah konsepnya menjadi komoditas ekonomis yang harganya mengikuti dinamika pasar.
Demikian juga halnya dengan sektor Sumber Daya Air, program liberalisasi sektor sumber daya air ini terkait dengan penyesuaian dan perubahan struktural dalam sistem pengelolaan air. Implementasi program penyesuaian ini oleh World Bank, dikaitkan dengan skema watsal/water
resources sector adjustment loan.
Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata yang patut diperdagangkan menurut kaidah pasar yang liberal.
Implikasinya, semakin tinggi nilai ekonomi yang dihasilkan, maka bidang itu yang akan semakin diprioritaskan. Berdasarkan prinsip dasar bahwa air adalah barang ekonomis/komiditi yang
bisa diperjual-belikan, maka didalam mekanisme pasarnya harus menggunakan prinsip full cost recorvery, dimana harus terbebas dari segala macam bentuk subsidi dalam bentuk apapun dari pemerintah/negara.
Sehingga keseluruhan tarifnya tentulah harus dibayar secara penuh oleh konsumen, tentunya harus termasuk pula didalamnya unsur margin profit perusahaan pemegang hak konsesi pengelolaan sumberdayanya. Hukum pasar -yang sangat bisa jadi akan berubah menjadi pasar yang oligopolistik mengingat air adalah barang yang non subtitusi- akan menempatkan masyarakat sebagai obyek konsumen belaka sebagai akibat berlakunya prinsip tarifikasi air.
Dengan kata lain, penyediaan air didasarkan pada kemampuan membayar, sehingga siapa yang mampu bayar maka dialah yang akan terlayani, dan jika tidak mampu membayar maka dengan sendirinya tidak akan mendapat suplai air.
Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli yang lazim terjadi di dunia bisnis.
Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaannya ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis atau asosiasi dari korporasi korporasi bisnis – yang dimiliki oleh pemerintah/perusahaan swasta
nasional/perusahaan swasta multinasional/ perusahaan transnasional.
Akhirnya, hak penguasaaan negara atas air beserta sumberdayanya menjadi dikebiri. Negara tidak lagi mempunyai hak penuh atas Beleid (perumusan kebijakan), Bestuursdaad (pengurusan) , Regelendaad (pengaturan) , Beheersdaad (pengelolaan) , dan Toezichthoudendaad (pengawasan) .
Setiap gugatan dan benturan kepentingan dengan masyarakat, dimana kemudian pemerintah dianggap memihak kepentingan masyarakat yang mana hal itu dianggap akan membahayakan kelangsungan Hak Penguasaan dan kelancaran Operasi Bisnisnya, maka pemerintah akan berhadapan dengan perusahaan swasta nasional/perusahaan swasta multinasional/ perusahaan
transnasional , di pengadilan arbritase internasional.
Padahal disatu sisi lainnya, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, mendeklarasikan bahwa akses terhadap air adalah hak dasar bagi setiap orang. Belanja pemerintah/governme nt procurement untuk selanjutnya menjadi sasaran disiplin WTO. Jika selama ini tender untuk belanja pemerintah bersifat nasional, dengan adanya peraturan dari WTO ini, maka tender harus dibuka secara internasional dengan mengikutsertakan perusahaan multinasional. Tentunya persyaratan tender pun harus mengikuti standar internasional.
Situasi yang demikian menjadikan wajar jika dalam tender tersebut perusahaan-perusaha an multinasional akan dengan mudah mengalahkan para pesaing lokal setempat.
Tujuan WTO -dalam mukadimahnya- sebenarnya untuk mencapai “fair tade”, bukan “free trade”. Perdagangan bebas atau free trade, jelas berbeda dengan perdagangan yang adil atau fair trade.
Menyadari fakta bahwa diantara negara-negara anggota WTO ada kesenjangan dan perbedaan tingkat yang besar dalam hal tingkat pembangunan ekonomi/teknologi/ infrastruktur/ budaya/politik/ sosial/dsb. Maka di WTO dalam konsep awal soal “fair trade” dikenal adanya prinsip “non trade concern/NTC” dan prinsip “special and different treatment/SDT” serta prinsip “state trading enterprise/STE”.
Prinsip-prinsip tersebut, terutama prinsip SDT dan NTC merupakan sebagian dari upaya untuk mencapai “equallevel of playing field”. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, prinsip NTC dan STE serta SDT justru diabaikan. Padahal fakta dengan perbedaan situasi dan kondisi yang sedemikian besar antara negara maju dengan negara berkembang, akan sangat sulit menghasilkan suatu kondisi keberimbangan dalam berkompetisi di pasar yang fair trade, jika tanpa adanya suatu upaya untuk menciptakan suatu mekanisme dan ketentuan yang memungkinkan ditegakkannya prinsip keadilan dalam mekanisme pasar tersebut.
Situasi dan kondisi “level playing field” yang berbeda jauh antar sesama negara anggota WTO, menjadikan praktik perdagangan bebas dengan penyeragaman semua aturan perdagangan tanpa kecuali dengan tak sedikit pun mempertimbangankan prinsip-prinsip NTC-STE-SDT, akan membelokan perdagangan kedalam kondisi yang tak berimbang dan tak adil. Bukan tidak
mungkin malah akan menjelma menjadi perdagangan yang bersifat menghisap.
Jika dipaksakan, maka hal ini tak ubahnya bagaikan memaksa seorang petinju kelas bulu untuk melakukan mandatory fight melawan seorang petinju kelas berat, Ellyas Pical melawan Mike Tyson misalnya. Atau misalnya pemain golf amatir seorang Birokrat Pemerintah RI yang bermain dalam satu flight dengan melawan pemain golf profesional, Tiger Wood misalnya.
Akan sangat jelas, dengan adanya fakta perbedaan “level playing field” maka yang akan terjadi adalah suatu pertandingan yang tidak berimbang dan tidak berkeadilan akibat peraturan yang unfair itu.
Padahal setiap birokrat-elite politisi yang sangat hobi bermain golf pun tahu bahwa ada perbedaan kondisi “level playing field” itu, dan mensiasatinya dengan diadakannya angka “handicap” misalnya. Namun mengapa, mereka ketika di lapangan golf sangat memahami hal itu,
tapi ketika “di lapangan perundingan dan diplomasi yang mempertaruhkan nasib bangsa” justru tak hirau dengan disingkirkannya prinsip-prinsip NTC-STE-SDT dalam kebijakan yang menyangkut puluhan juta nasib petani kita dan dunia usaha kita ?.
Perdagangan gandum dunia sekitar 80 % didistribusikan oleh hanya dua perusahaan saja, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. 75 % pangsa pasar perdagangan pisang dunia, dikuasai oleh hanya lima perusahaan saja, Del Monte, Dole Food, Chiquita, Fyffes, dan Noboa.
Tiga perusahaan menguasai 83 % perdagangan kakao/coklat, demikian juga dengan 85 % perdagangan teh. Sedangkan perdagangan tembakau, sekitar tak kurang dari 70 % produksi dikendalikan oleh Philips Morris, BAT-Rothmants, RJR Nabisco, Japan Tobacco.
Tiga ratus perusahaan multinasional/ perusahaan transnasional yang didukung oleh kapitalisme pasar bebas, saat ini menguasai 25 % aset dunia. Nilai penjualan per tahun dari perusahaan-perusaha an itu bervariasi antara 111 Milyar USD hingga 126 Milyar USD.
Disatu sisi lainnya saat ini hanya ada 21 negara yang mempunyai GDP melebihi jumlah tersebut.
Volume penjualan mereka mencapai 2/3 dari volume penjualan perdagangan dunia, dan disatu sisi lainnya produksi mereka merupakan 1/3 dari volume produksi dunia.
50 % dari total pendapatan Coca Cola, Toyota, Ford, diperoleh dari penjualan diluar Amerika, sementara itu 40 % dari volume perdagangan dunia merupakan transaksi antar perusahaan multinasional. Produk-produk yang identik diolah untuk didistribusikan keseluruh dunia, masyarakat dunia disuguhi produk-produk yang sama, dengan merek yang sama. Atribut-atribut mereka dipancarluaskan dalam bahasa periklanan dan media internasional keseluruh pelosok dunia dan ditangkap melalui layar TV satelit.
Permainan “Who Wants to Be a Millionare ?”, tayangan “pesohor-pesohor dadakan” dan “idol-idola-an” telah berhasil dan sukses menyatukan hampir 20 juta pemirsa. Sinetron telenovela “kehidupan dunia khayangan” yang menjual “dunia harapan” menjadi laris manis merajai top rangking peringkat rating media televisi kita.
Ketika media telah menipiskan antara kita yang berada disini dengan mereka yang berada disana, maka kita yang disini akan mengidentikkan diri dengan apa yang kita lihat tentang mereka yang ada disana. Perlahan tapi pasti kita yang disini pun akan segera terbawa kedalam
dunia harapan yang membawa budaya konsumsi yang menglobal. Dan ‘Desa Global”-nya Marshall McLuhan pun akan segera terwujud.
Dan itu menunjukkan bahwa betapa sedemikian besarnya keinginan diri kita untuk dapat ikut mengecap indahnya mimpi dunia harapan ala kapitalis. Maka benarlah belaka bahwa “simpul yang paling sensitif” pada pikiran manusia, yaitu pada aspek uang/dana, aspek nafsu syahwat, aspek keserakahan materi yang tak akan pernah terpuaskan, dan jika “sesuatu” bekerja pada “simpul” itu maka akan cukup membuat lumpuh dan terenggutnya daya prakarsa manusia, sehingga pada hakekatnya manusia itu telah menyerahkan dan mendisposisikan kehidupan dirinya, pada “sesuatu” yang telah memegang “simpul”-nya itu.
Saat ini kita semua pun akhirnya menjadi “haqul-yakin begitu saja” bahwa ekonomi-politik Neo-Liberalisme adalah suatu bentuk keniscayaan yang musti diterima dan merupakan “takdir” kepastian zaman di masa mendatang.
Selanjutnya dengan mengikuti dan mengadopsi sepenuhnya konsep ekonomi-politik Neo-Liberalisme maka kemakmuran dan kesejahteraan akan ada dalam jangkauan tangan kita seluruh rakyat Indonesia.
II.4. NEO-LIBERALISME dan KEMAKMURAN GLOBAL.
Seperti yang sudah dikemukakan diatas bahwa prinsip dasar dari gagasan ekonomi-politik “Ordo Neo-Liberalisme” adalah optimalisasi pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat dicapai jika digerakkan oleh konsep ‘Homo Economics”, dimana lalu-lintas barang / jasa / modal tidak dikontrol dengan regulasi apapun, serta dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang, tanpa peran tanggung-jawab sosial apapun juga kecuali untuk sepenuhnya mengabdi kepada akumulasi laba privat sebesar-besarnya.
Ordo Neo-Liberalisme juga melihat bahwa hukum kekuatan pasar tidak hanya terbatas meliputi pada soal produksi, distribusi, dan konsumsi saja, melainkan seluruh kehidupan manusia pun harus tunduk dan mengacu kepada hukum pasar, termasuk juga semua relasi sosial manusia adalah semata transaksi ekonomi saja.
Sejalan dengan hal itu serta berdasarkan prinsip bahwa masyarakat itu tidak ada, yang ada hanyalah individu-individu homo economicus. Maka dalam sudut pandang Neo-Liberalisme, orang-orang yang diupah itu bukanlah buruh atau pegawai, melainkan para wirausahawan bebas yang bertanggung- jawab atas keputusan dan perkembangannya diri mereka sendiri-sendiri.
Upah yang mereka terima bukanlah harga dari tenaga yang dijual, melainkan hanya merupakan implikasi “laba” dari “modal” yang mereka punyai saja. Sama dengan para kapitalis yang memperkerjakan mereka -para buruh, manajer, direktur, ataupun para guru- adalah para entrepreneurs bebas yang bertanggung- jawab dan berusaha memproduksi nilai surplus/surplus
value bagi dirinya sendiri atas modal yang dipunyainya, seperti otot/ketrampilan/ pengetahuan.
Sebagaimana setiap individu adalah para entrepreneurs bebas, maka organisasi-organisa si eperti perusahaan/departemen pemerintah/sekolah/ dsb adalah semata merupakan entrepreneurial bodies yang musti ramping, lincah, dan lentur, dan harus mengadopsi prinsip
tenaga kerja yang fleksibel/flexible labour forces.
Dengan itu, maka soal konflik kekuasaan dan eksploitasi menjadi dikaburkan, serta dikubur dengan santun dan rapi dalam istilah transaksi ekonomi. Pasar menjadi tolok-ukur segalanya, termasuk untuk menilai keberhasilan dan kegagalan atas kinerja pemerintahan dan semua kebijakannya. Manakala indeks harga saham dan nilai tukar mata uang negara itu terhadap mata uang dollar AS merosot, maka kepemimpinan di negara itu dinilai sebagai tidak diterima oleh pasar, serta dinilai kinerjanya gagal.
Sebaliknya jika stabil atau malah menaik, maka dikatakan sebagai diterima oleh pasar serta kinerja pemerintahan dikatakan berhasil, sekalipun pengangguran meningkat/kemiskina n tidak berkurang/sektor riil tidak bergerak/dsb.
Dan karena “pasar” adalah prinsip yang mendasari negara dan masyarakat, maka “negara” pun dianggap tidak mempunyai alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi “pasar”. Sehingga apabila kebijakan negara dalam bentuk kebijakan sosial/welfare system, dianggap mengganggu
kinerja pasar, maka kebijakan itu harus dihapus atau paling tidak harus diubah agar sesuai dengan prinsip pasar bebas.
Implikasinya menjadikan berbagai perkara dalam hidup masyarakat hanya didekati sebagai soal “ekonomi” saja, dan tujuan kesejahteraan bersama suatu bangsa/common wealth pun digusur dan diganti menjadi tujuan akumulasi kekayaan pribadi/individual wealth.
Otoritas regulatif pemerintah menyurut, karena manusia ekonomi/homo economicus dalam konsep Neo-Liberalisme mensyaratkan pelimpahan otoritas regulatif dari tangan “negara” ke lingkup “individu”, dari social welfare ke self care, dari urusan negara ke tangggung-jawab pribadi masing-masing warganegara.
Masalah-masalah sosial yang tadinya merupakan tanggung-jawab negara seperti kemiskinan, kekurangan gizi, pengangguran, dan sebagainya, diubah hanya dianggap menjadi masalah individual/personal semata, sehingga hanya cukup membutuhkan kebijakan individual self-care saja, tidak lagi dibutuhkan adanya suatu politik kebijakan sosial dalam kebijakan sistem kesejahteraan/ welfare system.
Sementara itu dijanjikan bahwa melalui penerapan konsep Neo-Liberalisme maka kemakmuran global akan menjadi kenyataan lebih cepat dari yang diinginkan. Apakah Neo-Liberalisme akan membawa kemakmuran global seperti yang dijanjikannya ?.
Jika ya, maka mengapa 1,3 milyar manusia masih hidup dengan uang kurang dari 1 USD, dan 2,8 milyar manusia lainnya harus hidup dengan 2 USD, sedangkan hanya seperlima lainnya yang justru menikmati 80% pendapatan dunia ?.
Pada sisi lain, pertumbuhan kemakmuran material memang telah melaju dengan tingkat pertumbuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Hal itu terjadi tidak hanya di negara-negara industri maju, namun juga dinegara-negara yang pada akhir perang dunia kedua masih masuk dalam kategori negara-negara miskin dunia ketiga.
Apakah memang demikian ?. Keuntungan bersih apa yang diperoleh dari kapitalisme global dari sebuah dunia dimana kesejahteraan ekonomi dan keamanan fisik manusia ditentukan oleh startegi dan tindakan para investor keuangan internasional dan perusahaan multinasional ?.
Inikah tata dunia baru yang diidam-idamkan dimana negara hanya dapat menyediakan jasa pelayanan kepada warganegaranya berupa lingkungan yang menarik bagi perusahaan-perusaha an multinasional/ perusahaan transnasional dan investor internasional ?.
Pertumbuhan ekonomi pertama-tama tergantung pada tingkat investasi/penanaman modal privat. Investasi bergantung pada tingkat saving/tabungan. Tabungan tergantung pada tinggi-rendahnya income/penghasilan pribadi.
Pertumbuhan income tergantung pada akumulasi laba. Akumulasi laba -dalam definisi perdagangan bebas- tergantung dari tingkat penjualan, yang diperjual-belikan dapat berupa barang/jasa/ modal finansial/pengetahu an/ketrampilan/ kecantikan/ otot/dsb.
Soalnya kemudian adalah bagaimana jika akumulasi laba, income, tabungan, investasi suatu masyarakat dari suatu negara miskin/negara berkembang, cukup rendah tingkatnya ?.
Suatu negara yang sangat kaya akan sumber daya alam pun tidak akan dapat menggali dan mengolahnya kecuali mempunyai modal awal untuk membiayai kegiatan itu. Kunci dari masalah ini adalah suntikan modal/penanaman modal dari negara-negara industri maju, melalui pinjaman/investasi.
Akan tetapi bagaimana mungkin akan terjadi aliran suntikan modal dari luar negeri jika tidak ada kebebasan lalu-lintas modal/barang/ jasa ?.
Dalam pertalian inilah pentingnya berbagai kebijakan deregulasi-liberali sasi modal finansial/barang/ jasa/tarif/ pajak/dsb. Apakah logika yang sedemikian rapi itu memang merupakan pola baku yang akan terjadi ?.
Dalam kasus Korea Selatan dan Taiwan, yang ketika berada pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi ( 8% pada dasawarsa 1970-an ) justru ditandai oleh kehadiran modal asing yang lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara Amerika Latin yang dibanjiri modal asing namun tingkat pertumbuhannya justru tidak setinggi Korea Selatan dan Taiwan.
Ada faktor-faktor lain yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Korea Selatan dan Taiwan, tak sekedar karena faktor besarnya volume modal asing saja. Dalam perkiraan teoritis tentulah negara sedang berkembang seperti Indonesia dengan mudah akan menarik investor asing bila deregulasi-liberali sasi dilakukan seluas-luasnya.
Juga sesudah mengandaikan banyak faktor lain, data tahun 2000 pada skala global justru sama sekali tidak mendukung gagasan teoritis itu. Dalam tahun 2000, 81 % dari total investasi langsung/foreign direct investment yang dilakukan Amerika Serikat mengalir ke industri-industri maju seperti Canada, Jepang, negara Eropa Barat. Justru hanya 1 % yang mengalir ke negara berpendapatan miskin, dan hanya 18 % ke negara berpendapatan menengah.
Ada soal yang lebih mendasar lainnya yang ‘disembunyikan’ oleh gagasan Neo-Liberal, yaitu kekuasaan atau power. Deregulasi yang dikampanyekan oleh kaum Neo-Liberal sesungguhnya berisi deregulasi pada jangkauan kekuasaan para pemilik modal dan asset finansial. Bagi perusahaan multinasional/ perusahaan transnasional, gerak mereka dalam mencari pasar baru/sumber daya baru/bahan mentah dan bahan baku yang murah dan melimpah/tenaga kerja yang murah, tidak akan efisien jika setiap negara masih menggunakan beragam aturan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan domestiknya.
Penghapusan berbagai aturan bagi operasi bisnis per definisi merupakan suatu langkah pemberian hak istimewa dan kekuasaan yang begitu besar kepada para pemilik modal itu.
Keluar-masuknya modal dengan bebas itu pada akhirnya akan dijadikan kartu truf/senjata pamungkas yang secara gratis diberikan oleh pemerintahan suatu negara kepada para pemilik modal itu. Untuk menumpuk modal, mereka -para pemilik modal itu- tak lagi terikat aturan lokasi produksi, sumber modal, teknologi produksi, partisipasi penduduk setempat, dan sebagainya.
Dalam tata ekonomi Neo-Liberal, pemilik modal dengan mudah dapat menolak tuntutan buruh amaupun peraturan pemerintah, dengan cara memboikot penanaman modal ataupun dengan cara mengancam akan hengkang ke negara lainyya yang mempunyai syarat lebih lunak dan memberikan insentif akumulasi laba yang lebih cepat dan lebih tinggi.
Sejak awal 1990-an, Indonesia menjadi salah satu tempat tujuan relokasi bagi pabrik pembuatan sepatu ber-merk. Sepatu dibuat di Indonesia atas order dan dengan standar dari pusatnya di negara maju, dan kemudian selanjutnya diekspor ke negara pusatnya untuk dipasarkan di pasar
internasional. Sekitar 80% merupakan order pembuatan sepatu merk Nike/Reebook/ Adidas, sisanya dari merk lain diantaranya adalah Bally/Palolo/ Converse/ Catepillar/ Eagle/dsb.
Pada tahun 2001, produksi mencapai sekitar 460 juta pasang sepatu olahraga dan 290 juta pasang sepatu non-olahraga. Nilainya mencapai sekitar 1,6 milyar USD, tenaga kerja yang terserap mencapai sekitar 350 ribu pekerja langsung dan sekitar 200 ribu pekerja tak langsung.
Biaya produksi sepatu berkisar sebesar 5,60 USD per pasang sepatu olahraga, sementara harga jual sepatu olahraga itu berkisar 40-60 USD. Tenagakerja Indonesia di pabrik yang menjahit sepatu olahraga bekerja dengan gaji 1,35 USD per hari, sedangkan kontrak bintang olahraga untuk iklan sepatu itu mencapai 20 juta USD.
Akan tetapi pada tahun 2002, tampaknya industri itu meredup. Kini para pekerja itu terancam akan kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya, menyusul ditutupnya pabrik-pabrik itu, pindah ke China dan Vietnam. Pertimbangannya karena upah tenaga kerja di Indonesia terus naik, disertai dengan kenaikan berbagai tarif dan ongkos produksi. Upah tenaga kerja di China dan Vietnam lebih murah dari Indonesia, sekitar 12 dollar USD lebih murah per bulannya.
Ditengah kenaikan berbagai ongkos biaya hidup, akankah Indonesia harus meniadakan patokan upah minimum dan menurunkan patokan upah tenaga kerja agar para investor asing itu tidak hengkang ke negara lain yang memberikan tawaran lebih menarik berupa upah tenaga kerja yang lebih murah ?.
Resep mobilitas modal melalui deregulasi-liberali sasi yang serampangan itu, pada hakekatnya akan membuat berbagai sumberdaya milik masyarakat akan berpindah ke tangan para pemilik modal. Kekuasaan ekonomi pertama-tama adalah berupa kemampuan yang semakin besar untuk memindahkan hasil produksi yang diciptakan melalui keringat banyak orang, ke tangan semakin sedikit orang, dari sumberdaya kekayaan alam milik negara, kepada segelintir orang kumpulan pemilik modal.
Maka secara perlahan namun pasti kesenjangan income pun akan semakin besar. Data UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan pada tingkat global, hanya dalam waktu 5 tahun saja indikator kesenjangan sosial/gini coeficient melonjak dari 62,5 menjadi 66,0 (dari tahun 1988 sampai tahun 1993).
1 % warga terkaya dunia menguasai kekayaan yang diterima 57 % warga termiskin. 5 % warga terkaya menguasai 114 kali lipat income yang diperoleh 5 % warga termiskin. Income warga terkaya di AS sama dengan jumlah income yang diterima 43 % penduduk termiskin dunia. Kekayaan 25 juta warga terkaya di AS sama dengan income 2 Milyar warga dunia.
Tahun 1970, 20 % warga terkaya dunia menguasai 73,2 % kekayaan dunia, sedangkan 20 % warga termiskin dunia hanya menguasai 2,3 % kekayaan dunia, kemudian ratio income antara kalangan kaya dengan miskin sebesar 32 : 1.
Dalam waktu 19 tahun kemudian, tahun 1989, 20 % warga terkaya dunia menguasai 82,7 % kekayaan dunia, sedangkan 20 % warga termiskin dunia hanya menguasai 1,4 % kekayaan dunia, kemudian ratio income antara kaya dengan miskin sebesar 59 : 1.
Memang benar bahwa tak ada salahnya keinginan untuk menjadi kaya, dan mungkin memang benar bahwa membuat kelompok kaya menjadi lebih miskin tidaklah akan menjadikan kaum miskin menjadi lebih kaya. Namun perkara “distribusi” dan “redistribusi” memang bukanlah soal bagaimana membuat kelompok kaya menjadi lebih miskin. Tetapi perkara ini menyangkut masalah yang lebih mendalam, lebih subtansial, ada hal yang lebih fundamental lagi ketimbang hanya sekedar “retorika kaya-miskin”.
Hanya orang kaya yang paling mungkin dapat menabung dalam jumlah besar, sebab mereka mempunyai income yang berlebih untuk ditabung. Sedangkan income kaum miskin tidak akan menjadi tabungan, sebab income mereka habis untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, sandang, pendidikan, dan papan. Semata income mereka hanya untuk sekedar cukup untuk “bertahan agar tetap hidup” saja.
Sejalan dengan sudut pandang Neo-Liberalisme bahwa orang-orang yang diupah itu bukanlah buruh atau pegawai, melainkan para wirausahawan bebas yang bertanggung- jawab atas keputusan dan karier serta perkembangannya diri mereka sendiri-sendiri.
Maka upah atau gaji yang mereka terima bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang dijual, melainkan hanya merupakan implikasi “laba” dari “modal” yang mereka punyai. Modal mereka adalah otot, ketrampilan, dan pengetahuan.
Maka bagaimana kaum miskin akan meningkatkan “modal” mereka (otot, ketrampilan, pengetahuan) , jika “income” yang mereka punyai tak mencukupi untuk memenuhi standar gizi tinggi, pendidikan yang bermutu, penjagaan kesehatan yang memadai dan pengobatan yang layak ?.
Jika “modal” yang dipunyai tidak dapat ditingkatkan bagaimana pula “income” dapat ditingkatkan ?.
Jika “income” tak dapat ditingkatkan bagaimana dapat ditingkatkan “saving” yang dipunyai ?.
Sudah barang tentu, hal itu akan berimplikasi kepada kesenjangan yang akan menjadi semakin tinggi. Dan akan berdampak kepada mekanisme transformasi vertikal secara sosial ekonomi dalam tatanan kemasyarakatan menjadi lumpuh, tak akan pernah dapat diharapkan terjadi.
Seorang sopir taksi tak dapat lagi mengharapkan anaknya menjadi ‘orang’, menjadi menteri umpamanya. Harapan tertinggi sopir taksi bagi anaknya, hanyalah kelak akan menggantikannya menjadi sopir taksi juga. Ini seperti lingkaran yang tak terputus, semacam jeratan kemiskinan yang akan turun temurun.
Mengapa bisa begitu ?. Ya, karena sopir taksi tadi tak punya cukup “income” yang mencukupi untuk memenuhi standar gizi tinggi, pendidikan yang bermutu, penjagaan kesehatan yang memadai dan pengobatan yang layak. Selanjutnya tentu sopir taksi tadi tak bisa meningkatkan “modal” mereka maupun anak mereka (otot, ketrampilan, pengetahuan) .
Maka dapat dibayangkan ketika anak sopir taksi tadi memasuki usia kerja, dia akan menghadapi dunia kerja yang memperlakukan upah atau gaji yang akan dia terima bukanlah “harga” dari tenaga kerja yang dijual. Melainkan hanya merupakan implikasi “laba” dari “modal” (otot,
ketrampilan, pengetahuan) yang mereka punyai. Inilah yang disebut lumpuhnya mekanisme transformasi vertikal secara sosial ekonomi dalam tatanan kemasyarakatan, anak sopir taksi hampir muskil bermimpi menjadi menteri.
Berbeda halnya bagi golongan kaya, semakin tinggi income mereka akan membuat semakin tinggi pula tingkat tabungannya. Semakin besar pula kesempatan mengembangkan “modal” untuk akumulasi laba yang akan diperolehnya.
Kemudian pada gilirannya akan semakin tinggi pula tingkat investasi dari kelompok mereka, yang tentu saja akan berimplikasi kesenjangan akan bertambah semakin tinggi, sebab pertumbuhan income kaum kaya ini dilihat sebagai prasyarat mutlak untuk investasi yang melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Tata ekonomi Neo-Liberal tidak hanya berhenti pada penerapan “pasar bebas” untuk transaksi ekonomi saja, semua jenis hubungan sosial manusia secara keseluruhan harus didekati dengan prinsip “pasar bebas” pula. Baik itu sektor relasi antar pribadi dan organisasi, sektor pendidikan,
sektor kesehatan. Maka tak aneh jika kesenjangan pun tak hanya berhenti pada soal “income” saja, melainkan akan merembet kesegala soal dan semua lini kehidupan.
Dalam soal kesehatan masyarakat, dari 1.223 obat-obatan baru yang diproduksi antara tahun 1975-1996, hanya ada 13 jenis obat yang diciptakan untuk orang miskin didaerah tropis.
Dalam tahun 1998, dari 70 milyar USD biaya riset perusahaan-perusahaan obat raksasa, hanya 0,14% atau 100 juta USD yang dialokasikan untuk pengembangan obat malaria, dan hanya 0,43% atau 300 juta USD bagi riset vaksin AIDS.
Sebagian besar biaya dipakai untuk riset obat-obatan kecantikan, kegemukan, dan sebagainya.
Kemampuan membeli/purchasing power yang tinggi dari golongan yang akan menjadi konsumen obat-obatan kecantikan inilah yang mendasari pengalokasian dana riset ini, karena pada gilirannya nanti kemampuan membayar yang tinggi dari konsumen inilah yang akan menentukan kecepatan akumulasi laba perusahaan-perusaha an obat pembuatnya.
Istilah “pasar bebas” yang terdengar santun dan indah ternyata telah dipakai oleh kaum Neo-Liberal untuk mengaburkan suatu realitas brutal yang ada dibaliknya. Persoalan mendasar dari “Pasar Bebas versi Neo-Liberal” bukan pada “dinamika kompetisi dan penerapannya di bidang ekonomi dan perdagangan” -manusia telah beribu tahun menggunakan pasar bebas untuk memenuhi kebutuhannya dalam transaksi ekonominya- melainkan pada penerapan “filsafat pasar bebasnya di semua lini kehidupan tanpa kecuali”.
Penerapannya yang secara sembrono dan serampangan, termasuk disektor publik, akan melahirkan diskriminasi terhadap mereka yang “tidak mampu menjual” dan yang “tak mampu membeli”.
Jika semua hal yang menyangkut kebutuhan mendasar bagi hajat hidup orang banyak hanya diperlakukan sebagai tak lebih dari sekedar komoditas bisnis semata, dan prinsip pasar bebas pun diterapkan pada semua lini tanpa kecuali termasuk di sektor pendidikan, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang menyangkut perlindungan dan kebutuhan lainnya yang bersifat mendasar bagi warganegaranya, maka orang-orang kelompok rentan/vulnerable seperti yang cacat, tua, sakit, miskin, buta-huruf, tak punya ketrampilan yang memadai menurut pasar kerja, dsb, akan selalu ketinggalan dalam kompetisi pasar versi Neo-Liberal.
Persoalan “kaya-miskin” bukanlah hanya semata soal “individu”, soal “self care”, soal “tangggung-jawab pribadi masing-masing warganegara”.
Ada soal yang lebih fundamental, yaitu tata struktur ekonomi-politik yang sedemikian terstruktur sehingga situasi dan kondisinya “menjerat” dan tak akan mampu hanya dilawan dengan kekuatan “individu masing-masing warganegara” saja.
Itulah sebabnya peran dari Pemerintahan sebuah Negara yang berkedaulatan sangat dibutuhkan untuk men-struktur tata struktur ekonomi-politik yang kompetitif dan berkeadilan sosial. Bukankah tata struktur ekonomi-politik adalah human construct dan bukan gejala alami ?, dan sebuah Negara juga sebuah human construct dan bukan gejala alami ?, sebuah Negara terbentuk untuk mensejahterakan seluruh warganegaranya ?, sebuah pemerintahan dipilih oleh warganegaranya untuk bekerja optimal sehingga terjamin kesejahteraan seluruh warganegaranya ?.
II.5. NEO-LIBERALISME dan NEO-KOLONIALISME.
Dari uraian singkat tersebut diatas, maka sulit untuk menghindari dugaan dan syak wasangka bahwa konsep ekonomi-politik Neo-Liberalisme dalam meliberalisasikan sektor-sektor publik, pada dasarnya merupakan “kuda troya” bagi masuknya perusahaan multinasional/ perusahaan transnasional kedalam “captive market” negara-negara dunia ketiga. Saat ini paling tidak ada empat perusahaan air yang menguasai sektor privatisasi air diseluruh dunia, yaitu Suez, Veolia, Thames, Sur.
Tahun 2001, sedikitnya terdapat 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), dengan total produksi sebesar 4,2 milyar liter. Dimana 65 % merupakan pangsa pasarnya Aqua miliknya Danone Group dan Ades kepunyaannya the Coca Cola Company, sedangkan sisanya yang 35 %
diperebutkan oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Mata air Umbul Sigedang yang terletak di desa Ponggok-Delanggu- Jawa Tengah, merupakan aset terbesarnya Aqua-Danone Group di Asia Tenggara. Danone mengeluarkan “dana kontribusi” sebesar Rp. 1,- per liter air yang diproduksi dari sumber air itu, total penerimaan sebesar kas desa Ponggok dari dana kontribusi itu sebesar Rp. 15 juta / bulan.
Semenjak Danone menguasai sumber mata air itu, masyarakat petani di desa Polanharjo, Karanganom, Ceper, menjadi berkurang pasokan debit air irigasinya sehingga terganggu produksi dan pola tanamnya. Menurut data FAO, peruntukan air di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 93% untuk pertanian, 6% untuk konsumsi penduduk, 1% untuk kepentingan industri. Sedangkan tahun 2002 porsi peruntukan untuk kepentingan irigasi pertanian telah menyusut menjadi 70%.
Indocement, produsen semen merk Tiga Roda dikuasai oleh Heidelberg, Semen Gresik dikangkangi oleh Cemex, bak BCA digenggam Farallon, bank Danamon pun demikian juga nasibnya, beralih tangan ke Temasek dan Deutche Bank. Perusahaan telekomunikasi Indosat dan Telkomsel pun dimiliki oleh Temasek.
Walaupun ada manfaat yang dapat dinikmati dari “kemajuan dan pertumbuhan” ekonomi, namun ada keprihatinan yang sangat mendalam dalam soal “distribusi manfaat” tersebut.
Repatriasi keuntungan yang ditranfer ke negara mereka masing-masing diperkiran lebih dari belasan milyar USD per tahunnya, ekuivalen sekitar sembilan puluh trilyun rupiah per tahunnya.
Apa arti semuanya ini ?.
Een Natie Van Koelias En Een Koelie Onder De Naties. Negara Kuli dan Kulinya Bangsa Lain.
Inilah jaman baru, jaman ketika kapitalisme menemukan matelnya yang baru, yang lebih radikal. Dengan dukungan teknologi dan informasi yang canggih, kekuatan Kapitalis Global bergabung dengan Kapitalis Lokal, secara tamak bersama-sama mengeruk kekayaan planet bumi. Praktek Neoliberalisme tak sekedar terbatas pada tataran sektor ekonomi, keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, energi, dan migas saja. Sektor pertanian, pangan, kesehatan, pendidikan, sumber daya air, dan sektor-sektor publik lainnya pun sudah mulai dirambahnya.
Bahkan saat ini sudah merambah pula ke sektor politik. Politik pun menjadi mengikuti model ekonomi yang hanya mendasarkan analisa politik menjadi sekedar analisa tentang “biaya” dan “manfaat” dari suatu transaksi ekonomi semata. Suka atau tak suka, setuju atau tak setuju, kita telah terhisap masuk kedalam sebuah tatanan dunia yang “baru”. Seolah-olah tak ada lagi pilihan kebijakan lainnya, hanya ada satu pilihan saja yaitu Neo-Liberalisme.
Masing-masing ekonom, dengan data dan bahan yang sama, dapat membuat teori, dalih, argumen, dan kesimpulan yang seolah-olah obyektif dan benar. Memang terlihat tak ada yang salah, namun masing-masing itu hanya benar pada konteksnya masing-masing, sesuai dengan model, analisa dan cara pandang, dan kepentingan mereka, bahkan hanya sesuai dengan
kepentingan yang membayarnya.
Sementara itu, kita mungkin belum sempat mengkajinya secara mendalam, bahkan mungkin kita malah belum memahami apa yang sesungguhnya telah dan yang bakal terjadi.
Kebijaksanaan yang sungguh arif bijaksana tak cukup hanya bermodalkan “semangat moral” saja, hanya akan ada jika mempunyai moral dan mempunyai kapasitas yang memadai untuk memahami latar belakang dan akar masalahnya. Serta tentunya harus tak memiliki sedemikan kental kepentingan pribadi maupun kelompoknya, terhadap permasalahan itu. Baik itu merupakan kepentingan politik maupun kepentingan bisnis yang menyertainya. Apalagi “kepentingan bisnis” para “cukong-cukong” yang “berbaik hati” telah mendanai kegiatan politiknya.
Dalam persoalan memilih suatu pilihan kebijakan yang menyangkut politik-ekonomi, tak dapat dinafikan, akan selalu ada dan akan senantiasa ada benturan dan konflik kepentingan. Bahkan terkadang kita dihadapkan pada situasi yang sedemikian sulit, karena apa yang kita anggap benar dan sesuai dengan moral hati nurani, ternyata tak sesuai dan tak didukung oleh ketersediaan landasan data empiris yang memadai. Namun kesemuanya itu tentu akan kembali kepada pertanggungjawaban kita kepada nurani kita masing-masing dan pertanggungjawaban kita pada sejarah. Dimana dalam setiap kebijakan yang kita putuskan itu akan berpengaruh besar pada rona dan keadaan kehidupan anak cucu cicit buyut kita pada abad-abad mendatang. Akankah kita justru telah melahirkan embrio keterjajahan negeri ini ?.
Jika kita tak memulai dari sekarang untuk lebih arif bijaksana dalam menyikapi dan mensiasatinya, maka “euforia membabi-buta” penerapan konsep Neo-Liberalisme kesegala sektor tanpa kecuali, efeknya bukan tak mungkin malah akan memunculkan pengulangan jaman kolonialisme abad kesembilan belas. Jika kolonialisme versi lama hanya merampas tanah, maka kolonialisme versi baru akan merampas seluruh kehidupan.
Akhirulkalam.
Masihkah…Bumi, Air dan Segala Isinya…digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran seluruh rakyat…??? Wallahu’alambishawab.
***
Tulisan ini disusun dan diketik -setelah meluangkan waktu dan memalingkan sedikit perhatian- untuk membaca, mengutip, merangkum, meramu, dan menyadur dari bahan-bahan yang didapat dari antara lain : buku Neoliberalisme yang diterbitkan oleh Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas – Yogyakarta, buku Neoliberalisme Menumpas Petani yang diterbitkan oleh Resist Book – Yogyakarta, buku Daulat Rakyat versus Daulat Pasar yang diterbitkan oleh Pustep UGM - Yogyakarta, buku Negara Kuli yang diterbitkan oleh Penerbit Republika – Jakarta. Serta ditambah serba sedikit dari beberapa sumber-sumber lainnya. (rifkyprdn@fastmail.fm)
No comments:
Post a Comment